duapuluh lima

40.1K 4.5K 169
                                    

Udah lewat hari Jumat sih sebenernya, tapi masih termaafkan, kan? Hehe..

Happy reading❤️




📷 📷 📷




Adit

Ju, maaf banget. A’ Fajar tiba-tiba manggil aku ke studio.
Kamu di mana sekarang?
Masih di rumah, kan?

Aku menyuapkan sushi terakhir ke dalam mulutku sembari membaca pesan dari Adit. Semalam Adit memang mengajakku jalan tapi aku sengaja memintanya untuk bertemu di tempat alih-alih menjemputku. Ada yang harus kubeli jadi siang hari aku sudah keluar dari rumah, sementara janjian kami agak sore.

Iya, untungnya aku belum berangkat

Balasku bohong. Aku tidak mau Adit merasa bersalah. Lagi pula aku juga tidak merasa rugi, toh aku ada urusan makanya berada di sini sekarang.

Adit

Aku bener-bener minta maaf..

Iya, enggak apa-apa. Mending kamu cari duit hehee

Uang itu lebih penting daripada gebetan. Aku yang baru kenal sama Adit tidak berhak mendominasi kehidupannya, apalagi pekerjaan. Kalau aku ada disituasi yang sama, aku juga akan memilih pekerjaan daripada orang yang belum tentu menjalin hubungan denganku.

Wih! Keren banget otakku. Bisa mikir sedewasa itu. Ini pasti gara-gara keseringan main sama yang tua-tua nih!

Habis makan, aku memilih nongki-nongki cantik sebelum pulang. Takutnya kalau aku pulang terlalu cepat, yang ada aku bosan di rumah. Tahulah, isi dayaku itu berada di keramaian atau bertemu banyak orang.

“Juwi?”

Eh, si Rian sialan. Bisa-bisanya aku ketemu dia lagi. Aku menghela napas malas lalu memasukkan ponsel ke dalam tasku.

“Apa kabar?” Rian mengulas senyum dan tanpa izin duduk di hadapanku.

Aku mengernyit kesal. “Siapa yang nyuruh lo duduk di situ?” Tidak peduli dia lebih tua dariku, rasanya aku tidak perlu bersikap sopan.

Rian menatapku memelas. “Aku mau ngomong, Ju.”

Aku melotot tak setuju. “Enggak, enggak. Gue enggak mau.”

“Lima menit aja,” mohonnya.

“Kelamaan.”

“Empat?”

Lah? Kurang semenit doang. “Enggak.”

“Tiga?”

Aku menimbang-nimbang sejenak. Kayaknya tidak ada salahnya meladeninya, aku juga tidak ada kerjaan. “Oke.”

Terpaksa aku mengeluarkan kembali ponselku, mengatur waktu tiga menit dan meletakkannya di meja agar Rian bisa melihatnya juga.

Rian membasahi bibirnya. “Aku tau kamu pasti masih sakit hati sama kejadian waktu itu, tapi aku tetep pengen minta maaf sama kamu. Ini dari lubuk hatiku yang paling dalam.”

Dari mukanya, kayaknya Rian serius dengan kata-katanya barusan. Tapi aku masih harus mencurigainya. Siapa yang tahu kalau dia pintar akting. Eh? Memang pintar. Buktinya aku percaya dia jomlo. “Terus?”

Please, maafin aku. Biar sumpah kamu waktu itu hilang.”

“Maksudnya?”

Rian menghela napas, menunduk lalu menjawab, “Aku sengsara setiap makan, Ju. Selalu ada kerikil kecil dinasi aku. Kalaupun aku cari sebelum makan, akan tetep ada. Aku jadi lebih sering makan mi karena itu, padahal aku lebih suka nasi, Ju. Makan mi juga enggak enak kalau enggak ditambah nasi.”

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang