tiga puluh delapan

43.6K 4.8K 140
                                    

Happy reading❤️





📷 📷 📷







Hari ini, Mas Hady benar-benar menemui perempuan itu. Padahal aku berkali-kali memintanya agar tidak usah pergi. Maka dari itu, aku ikut untuk mengawalnya.

Mas Hady sudah ada di salah satu meja, duduk menunggu. Aku dan para pengikutku duduk agak jauh. Bukan karena takut ketahuan, Mas Hady tahu kok aku ada di sini sekarang. Aku tidak mau saja Mas Hady atau perempuan yang sedang ditunggu-tunggu itu mendengar percakapan kami.

“Ju, gunanya kita pake kacamata hitam apa sih?” protes dari Malika mengalihkan perhatianku dari Mas Hady.

Ya, aku tidak sendiri. Malika, Sofia, dan Ajeng bersedia menemaniku. Bukan karena setia kawan, tapi mereka tidak ada kerjaan saja selesai kuliah. Walau begitu, aku tidak mempermasalahkannya. Kalau banyak begini, aku bisa keroyok perempuan itu kalau sampai berani menggoda Mas Hady duluan.

“Iya, itu cewek kenal kita juga enggak,” tambah Ajeng.

“Biar keren.” Aku mendorong kacamata hitamku lalu bersedekap. “Kalau kalian enggak mau, balikin sini kacamatanya.”

Walaupun di shopee luar negeri harganya cuma 10ribu-an, aku tidak mau rugi kalau sampai kacamataku dibawa pulang. Sofia segera melepasnya dan menyerahkannya padaku, diikuti Ajeng dan Malika.

“Ngomong-ngomong, tingkat ketampanan Mas Hady kok meningkat dari terakhir gue lihat dia,” kata Ajeng tiba-tiba.

Dari balik kacamata, aku meliriknya sebentar lalu kembali fokus pada Mas Hady. “Auranya emang makin keluar setelah pacaran sama gue.”

“Aura apaan? Sebenarnya gue agak kasihan sama Mas Hady. Dia kok sukanya sama modelan kayak Juwi.” Ajeng mendecakkan lidah.

“Berisik lo, nyesel gue ngajak lo.”

Ajeng berniat membalas ucapanku namun terhenti ketika Malika menginterupsi. “Ceweknya dateng!”

“Mana, mana?” tanyaku panik lalu buru-buru mengarahkan pandanganku ke arah pintu masuk. Tidak ada siapa-siapa. Tapi saat aku melirik meja Mas Hady, sudah ada perempuan di sana. Aku melepas kacamataku agar melihatnya lebih jelas.

“Cantik banget gila,” ujar Sofia.

Iya, aku setuju sama Sofia. Dia cantiknya minta ampun. Kalau berdiri di dekatnya, aku bakal dikira cumi-cumi. Kulitnya putih cerah, kayak mandi susu kambing tiap hari. Rambut panjangnya dilihat dari jauh aja, halus banget. Body-nya beuh, definisi gitar Spanyol. Pinggang kecil, pinggul berisi, terus kakinya jenjang.

“Mau taruhan enggak?” kata Ajeng pelan.

Aku tidak memedulikannya karena kini tengah fokus pada ekspresi Mas Hady yang tampak bahagia setelah bersalaman dengan perempuan itu. Senyumnya lebar banget, mana habis itu langsung ngobrol.

“Taruhan apa?” tanya Sofia.

“Mas Hady nolak cewek itu atau justru langsung minta putus dari Juwi,” jawab Ajeng.

Aku menoleh cepat dan membekap mulut Ajeng yang bisa-bisanya sembarangan ngomong di saat-saat seperti ini. “Hei, mulut!”

“Menurut gue, Mas Hady udah kepincut. Lihat tuh, senyumnya lebar banget,” sahut Malika.

“Gue juga,” ikut Sofia.

Ajeng menarik tanganku menjauh dari mulutnya. ”Lah? Apanya yang dijadiin taruhan kalau semua sama?”

Mereka tahu aku lagi dongkol setengah mati, malah cekikikan setelah puas menjadikan hubunganku dan Mas Hady taruhan. Aku mendengus, mengangkat dagu menantang mereka bertiga. “Gue beda! Mas Hady pasti nolak cewek itu.”

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang