empat puluh

62.6K 5K 144
                                    

Resepsi pernikahan Kak Uta yang diadakan malam ini termasuk meriah. Alasan paling utama adalah A’ Galih dan Kak Uta sama-sama jadi pembuka sebuah acara. Jadi, keluarga dari kedua belah pihak menginginkan pesta yang sulit dilupakan.

Sebenarnya dari keluargaku cuman Bunda yang mau, Papa mah santai. Pesta mewah atau sederhana sekalipun tidak jadi masalah. Baginya kehidupan pernikahan setelah pesta inilah yang penting.

Aku juga sama. Beberapa bulan lalu aku mendadak menginginkan konsep pernikahan ala-ala Ariana Grande. Sederhana dan hanya dihadiri keluarga inti dan teman dekat. Tidak perlu mengundang teman Bunda dan Papa yang tidak kukenal. Jadi, biayanya tidak begitu besar dan aku tidak capek berdiri menyalami tamu-tamu yang tidak ada habisnya.

Eh, tapi bukan berarti aku jadi punya niat menikah dengan Mas Hady. Belum waktunya, aku masih mau menikmati masa muda.

Aku menyenggol lengan Mas Hady yang sedang berdiri di stand makanan, memenuhi piringnya. Dari kemarin aku belum sempat ngobrol atau dekat-dekat begini sama Mas Hady karena lumayan riweuh. Paling mata kita ketemu, senyum, terus udah.

“Mas ganteng banget,” pujiku tulus. Sumpah, malam ini Mas Hady ganteng pake banget. Entah karena aku sudah sebulan tidak melihatnya atau memang jas yang membalut tubuhnya malam ini bikin kadar ketampanannya meningkat drastis.

Mas Hady menoleh, begitu melihatku alisnya terangkat tinggi. Baru setelah itu senyumnya muncul. “Kamu juga.”

“Ganteng?”

Mas Hady menautkan jemarinya ke sela-sela jariku. “Cantik.”

Aku menunduk menyembunyikan senyumku. Kalau cuma berdua, Mas Hady sudah kuserang. “Aku pengen banget peluk Mas, tapi dari tadi Papa ngeliatin aku mulu.”

Iya, walau berdiri di panggung bersama Bunda, Papa tidak melepas pandangannya dariku. Kayaknya Papa takut aku bikin masalah dipesta Kak Uta.

Mas Hady menunduk dan berbisik, “Nanti aja.”

Masih dalam posisi menunduk, aku ikut berbisik di telinga Mas Hady. “Cium juga.”

Mas Hady mengangguk sambil menahan senyumnya. Hei, kawan. Mas Hady tidak sesuci itu. Kalau masalah cium mencium, Mas Hady masuk kategori pro deh kayaknya. Makanya begitu kuminta, Mas Hady tidak menolak. Malah dia senang, kentara dari raut mukanya.

“Dari tadi aku enggak lihat kamu makan. Mau aku ambilin?” tawar Mas Hady setelah menambah lauk dipiringnya.

“Aku mau bakso.”

Mas Hady mengangkat tanganku dan menyerahkan piringnya yang sudah penuh. “Pegangin, biar aku yang ambil.”

“Makasih, Mas.” Mas Hady sempat berbalik lagi lalu melempar senyumnya mendengar ucapan terima kasihku. Aduh, gimana aku enggak tambah suka.

Waktu sama Farraz boro-boro di treat like a queen. Malah aku yang biasanya mengambilkannya makanan, bertugas memesan di tempat makan atau kafe, dan banyak lagi yang tidak perlu kusebutkan. Kalau dipikir-pikir, aku harusnya bersyukur putus darinya. Enggak kebayang kalau aku jadi istrinya, bisa-bisa aku cuma dijadikan babu di rumah sendiri.

Lamunanku mendadak buyar saat seseorang merangkul bahuku. “Juwi, apa kabar?”

Aku menoleh dan ternyata si playboy Bandung. “Oh! Aa.”

“Ayo duduk bareng kita.” A’ Ivan menggiringku bersamanya.

“Tapi aku nunggu Mas Hady.”

“Tunggunya sambil duduk kan bisa.”

A’ Ivan berhasil membawaku bersamanya. Sebelum sempat menyapa, A’ Fajar yang duduk sambil menikmati makanannya lebih dulu menyapaku. “Ju.”

“Hai, A’.”

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang