Ada yang aneh.
Lebih tepatnya aku yang aneh. Biar aku jabarkan perlahan dan detail agar tahu di mana letak masalahnya. Oh, bukan. Maksudnya masalahku.
Seminggu ini hubunganku dengan Adit mengalami kemajuan yang stabil. Dimulai dari jalan berdua waktu itu, Adit tidak lagi sungkan menghubungiku lebih dulu. Hari ini juga kami jalan dan kali ini tanpa gangguan jadi aku baru sampai di rumah pukul tujuh malam.
Nah, perasaan aneh mulai muncul lagi saat mataku tidak sengaja mengarah ke rumah Mas Hady. Setelah sebelumnya aku lupa karena seharian bersama Adit.
Tiga hari pertama, aku masih biasa saja. Toh, dia pernah hilang selama itu dan akhirnya jatuh sakit. Di hari keempat setiap melewati rumahnya, mataku tanpa sadar menengok sambil bertanya-tanya apa dia baik-baik saja. Hari kelima, aku mulai menanyakannya pada Bunda. Sayangnya, Bunda juga sama. Dan di hari keenam, aku mulai berpikir menghubungi atau menemuinya dan menanyakan langsung ‘Mas Hady ke mana aja?’
“Juwi?”
Aku tersentak lalu mengalihkan pandanganku ke Adit. “Iya?”
“Kok ngelamun?” tanya Adit mengambil helm di tanganku.
Kayaknya nanya sama Adit lebih aman daripada opsi menghubungi Mas Hady. “Dit, akhir-akhir ini di studio lagi banyak kerjaan, ya?”
Adit tampak berpikir hingga keningnya mengernyit. “Kayaknya A’ Hady belum kasih tau kamu.”
Gantian aku yang mengernyit. “Apa?”
“Kamu tanya aja sama A’ Hady. Enggak enak kalau aku yang ngomong.”
“Oh, gitu, ya.” Aku mengangguk lamat-lamat. Pertanyaanku bukannya mendapat jawaban malah makin bingung. Apa yang belum kutahu sementara Adit tahu? Padahal aku lebih lama kenal sama Mas Hady.
“Ya udah, aku pulang sekarang,” pamit Adit.
“Iya, makasih buat hari ini.”
“Makasih kembali.”
“Dahh ...” Aku melambaikan tangan sampai Adit dan motornya hingga dari pandanganku.
Baru setelah itu aku meregangkan badan, memutar-mutar kedua lengan, senam wajah, dan memijit leherku yang serasa kaku. Jalan sama Adit susah juga ternyata. Aku mesti jaga images dan tidak terlalu menunjukkan sisi petakilanku.
Bayangin aja, setiap mau ngomong aku harus pikir dua kali dulu. Gerakku juga terbatas, aku bertingkah anggun selayaknya nona bangsawan. Walau itu bukan aku banget, tapi buat dapatin apa yang dimau memang butuh usaha, kan?
“Juwi!”
Panggilan samar yang sampai ke telingaku sudah sangat familier. Makanya mataku langsung mengarah ke warung Amel. Di sana Amel melompat sambil melambai ke arahku, memintaku menghampirinya.
“Kenapa, Mel?” tanyaku begitu berdiri di hadapannya.
Senyum Amel mengembang. “Itu siapa?”
Oh, Amel lihat aku sama Adit. “Yang tadi?”
Amel mengangguk cepat.
“Namanya Adit.”
“Penggantinya Farraz?”
Aku mengangkat bahu, melirik kulkas es krim lalu menimbang-nimbang ingin membeli rasa apa. “Belum tau.”
“Kok gitu? Kamu enggak suka sama dia?” tanya Amel lagi sambil mengikutiku ke kulkas es krimnya.
Aku berhenti memerhatikan kulkas es krim, beralih menatap Amel yang berdiri di sampingku. Pertanyaan Amel secara garis besar sama dengan pertanyaan Mas Hady di hari aku terakhir bertemu dan aku jadi ingat percakapan terakhir kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Movember [TAMAT]
ChickLitDibantu temannya, Juwi bertekad move on dan mencari pengganti setelah putus dari pacar sejak SMP-nya. Targetnya sebulan. Mulai dari berkenalan dengan kakak temannya, mencari diaplikasi dating, sampai salah satu temannya menyarankan Juwi mempertimban...