tiga puluh dua

38.7K 4.4K 95
                                    

Gengs, kalau sesuai sama outline, Movember bakal tamat bulan ini (di chapter 40 atau 41)
Yeah!🎉🎉 bentar lagi yak

Eh, btw. Senin kita baru ketemu Mas Hady.

Happy reading❤️



📷 📷 📷




“Juwi.”

“Iya, Bun,” sahutku pada Bunda yang duduk di tepi tempat tidur, sedangkan aku melantai memasukkan pakaianku ke dalam koper.

Yap! Aku memutuskan ikut Papa hari ini. Setelah pertimbangan panjang selama dua hari. Kupikir tidak ada gunanya juga aku menunggu Mas Hady pulang. Apa yang akan aku katakan saat berhadapan dengannya? Tidak ada, selain pamit.

“Ini kan masih ada seminggu sebelum kamu masuk. Masih lama. Atau kamu enggak betah tinggal di sini?”

Sejak tahu Papa akan datang ke Bandung, Bunda tidak berhenti membujukku agar tidak perlu ikut. Masih banyak waktu dan Bunda belum ingin aku kembali ke Jakarta.

“Betah kok, Bun. Mumpung Papa ke sini, ya aku ikut aja. Daripada keluar ongkos lagi naik kereta,” kataku berusaha memberi penjelasan paling logis sambil menutup koperku.

“Biar Bunda yang bayarin.”

Aku menoleh. “Bun, aku juga mesti prepare buat masuk kampus.”

Wajah Bunda berubah sendu, tahu bahwa usaha menahanku sia-sia. Aku jadi ikut sedih, kan! Aku segera mendekat dan memeluk Bunda, mengelus punggungnya untuk menenangkan Bunda. “Juwi main ke sini lagi deh kalau libur. Ya?”

Kurasakan Bunda menghela napas. Aku mengurai pelukan, ingin tahu jawaban Bunda. Meski masih muram, Bunda tetap mengangguk.

“Nah, gitu dong. Jangan cemberut mulu. Cup cup cup,” candaku sembari menepuk pelan pipi Bunda, seperti memperlakukan anak kecil. “Muka manisnya mana coba.”

“Ihh, kamu ini.” Bunda menepis tanganku.

Nah gini! Aku lebih senang melihat Bunda kesal daripada sedih-sedih seperti tadi. Itu kenapa aku suka menjahili Bunda, lucu juga lihat mukanya kalau kesal.

“Makanya mukanya jangan sedih gitu dong! Aku kan ke Jakarta mau menuntut ilmu, Bun. Buat masa depan yang lebih cerah. Biar aku bisa kayak Kak Uta, transfer uang tiap bulan ke Bunda. Biar Bunda bisa beli set alat masaknya stein cookware, pisau-pisau yang warna pastel, terus kulkas yang bisa internetan.”

Bunda mengernyit kesal. “Mana ada kulkas kayak gitu. Jangan ngada-ngada.”

“Ada. Ihh, Bunda ketinggalan.”

Belum percaya, akhirnya aku mencari gambarnya di e-commerce dan menunjukkannya pada Bunda. Merasa belum cukup, aku beralih ke YouTube. Mencari video yang mereview kulkasnya. Barulah setelah itu Bunda percaya.

“Tenang aja. Kalau aku punya duit, Bunda yang pertama punya kulkasnya di-RT ini,” kataku dengan percaya diri. Tahu mau bekerja di mana saja aku belum, tapi ya pede aja dulu. Siapa tahu ada malaikat yang mengaminkan. Ye, kan?

Bunda mengembalikan ponselku. “Kulkasnya udah jadul kalau tunggu kamu kumpul uang.”

Sejenak aku diam, memikirkan perkataan Bunda yang ada benarnya. “Oh iya, ya. Ah, aku beliin keluaran terbaru dong!”

Bunda baru saja ingin menyahut namun urung saat suara deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Alisku terangkat tinggi, akhirnya Papa datang. “Itu Papa, Bun!”

Bukan datang langsung dari Jakarta, ya. Papa sudah tiba sejak tadi pagi dan langsung bertemu dengan temannya. Menjelang makan siang, Papa mengajak Kak Uta dan A’ Galih bertemu. Ini bukan pertama kalinya Papa bertemu calon Kak Uta, tapi Papa memang senang terhubung dengan orang-orang yang dekat dengan anak-anaknya.

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang