tiga puluh lima

43.2K 4.3K 78
                                    

Chapter 36 nya nanti, ya. Agak malem hehe✌️
Napas dulu.



📷 📷 📷




Keluar dari kamar, keadaan rumah sudah sepi. Papa pasti sudah berangkat ke kantor, tapi yang jadi pertanyaanku itu Mas Hady. Dia diam-diam di kamarnya atau keluar juga. Aku menempelkan telingaku didaun pintu, berharap samar-samar mendengar sesuatu.

Hening. Kayaknya di dalam enggak ada manusia.

“Kalau aku atau Papa belum pulang gimana?” gumamku.

Tujuanku mencarinya ya itu. Mas Hady tidak memegang kunci cadangan. Semisal aku dan Papa belum pulang, Mas Hady bisa kering nunggu di teras. Baru saja aku berniat menghubunginya namun urung begitu aku membuka pintu, di depan sana Mas Hady berdiri di samping mobilnya.

“Juwi.” Mas Hady menunjuk mobilnya dengan ibu jarinya.

Itu maksudnya aku disuruh masuk, kan? Aku mengernyit sambil mendekat pelan-pelan. Sikapnya justru terlihat mencurigakan untukku. “Mas enggak ada kerjaan?”

Alis Mas Hady terangkat. “Ada. Habis ini ketemu Adam.”

Aku mengangguk-angguk lalu menunjuk ke arah garasi, di mana motor matic terparkir di sana. “Siapa tau Mas lupa, kita ada di Jakarta. Mendingan naik motor.”

Mas Hady yang cuma diam tanpa respons apa pun membuatku kesal, hingga akhirnya aku menarik Mas Hady. “Ayo, Mas. Aku enggak mau tua di jalan.”

Sepanjang perjalanan, tidak ada yang kami bicarakan. Sebenarnya tadi belum jauh meninggalkan rumah, Mas Hady mengajakku ngobrol. Tapi aku minta biar dia diam. Aku enggak mau mulutku penuh debu kalau harus menyahutinya sampai aku tiba di kampus.

“Makasih, Mas.” Aku turun dari motor dan mengambil posisi di sebelah Mas Hady.

Melihatku sedikit kesusahan, Mas Hady langsung membantuku membuka helm. “Ju.”

“Hm?” gumamku sambil menyerahkan helm pada Mas Hady.

“Selesai jam berapa?”

“Sore. Kenapa, Mas?”

Mas Hady mengangguk-angguk namun tetap diam. Aku juga diam, menunggu mulutnya itu mengeluarkan sepata dua kata.

“Enggak, nanya aja.”

“Mau jemput, ya?” tanyaku jahil sambil menaik-turunkan alisku. “Kalau Mas maksa, aku sih mau-mau aja. Biar aku enggak keluar ongkos.”

Mas Hady tertawa hambar. “Enggak tuh.”

Setelah dua kata itu terucap, Mas Hady lalu melajukan motornya meninggalkan yang gondok setengah mati. Terus dia nanya gitu maksudnya apa? Dikira aku perempuan yang belum pernah pacaran kali, ya. Aku mendengus sebelum meninggalkan parkiran menuju kelas.

Wih! Bestie-ku sudah lengkap. Tidak biasanya Ajeng on time begini, dalam hidupnya itu tidak ada istilah tepat waktu. Aku menghampiri mereka dan berniat duduk di sebelah Ajeng. Namun urung saat melihat Malika yang duduk menyendiri di pojok paling belakang.

“Ju! Lo harus lihat ini.” Ajeng menarikku duduk.

“Malika kenapa?” tanyaku.

“Dia capek ngeluarin semua binatang dari mulutnya,” jawab Sofia yang duduk di depan bersama Dilla.

“Hah?”

Ajeng menjentikkan tangannya di depan mukaku. “Jangan hirauin Malika, sekarang lo denger gue baik-baik.”

“Apaan sih? Bokep, ya?”

Ajeng menunjukkan sebuah foto di ponselnya. Itu foto Farraz bersama perempuan, tapi kayaknya beda dari dua perempuan yang pernah kulihat. Ini lain lagi. Tapi kenapa Ajeng menunjukkan ini padaku? Padahal aku sudah baik-baik saja meski tahu Farraz punya puluhan gebetan. “Wih, cewek baru lagi. Gengs, kalian tenang aja, gue udah enggak peduli kok.”

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang