tiga puluh tiga

40K 4.6K 41
                                    

Happy reading❤️




📷 📷 📷




Sebulan kemudian..

Berlatar belakang ocehan Ajeng yang tidak berhenti-henti, aku memandang lama sg yang diunggah A’ Ivan kemarin malam. Ya, aku memang mengikutinya. Itu pun karena A’ Ivan yang mengikutiku duluan.

“Enggak ada yang mau nemenin gue nih?” tanya Ajeng. Aku mendengarnya, tapi tidak benar-benar memfokuskan perhatianku padanya. “Item, temenin gue dong.”

Di sana ada foto Mas Hady bersama tiga orang lainnya yang bekerja di studio. A’ Ivan tidak ada, mungkin dia yang mengambil foto. Tapi yang membuatku lama memandang fotonya adalah penampakan wajah Mas Hady.

“Enggak! Ngapain gue ikut-ikut dalam urusan percintaan lo,” tolak Malika galak.

“Ini pertemuan pertama, gue takut kalau sampe dia macem-macem sama gue.”

“Kalau lo takut, enggak usah pergi bego!”

Selama mengenalnya, ini pertama kalinya aku melihat Mas Hady yang membiarkan kumis dan janggutnya tumbuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selama mengenalnya, ini pertama kalinya aku melihat Mas Hady yang membiarkan kumis dan janggutnya tumbuh. Astaga, itu janggut sampai penuh di rahangnya. Sesibuk apa sih sampai Mas Hady tidak punya waktu mencukurnya?

“Syopi.”

“Apalagi gue. Pendapat gue sama kayak Malika.”

Kedua jempolku melayang di atas layar, berniat mengetik sesuatu di sana. Aku mau menegurnya, tapi nanti A’ Ivan lapor ke Mas Hady. Tahu sendiri kan A’ Ivan itu orangnya bagaimana. Oke, sebaiknya memang jangan. Aku melepas ponselku, berusaha mengenyahkan Mas Hady dari kepalaku.

“Juju.” Ajeng menyenggol lenganku.

Aku meneguk habis es teh manisku lalu menoleh. “Apaan?”

Ajeng menatapku memelas. “Temenin gue.”

Sebelum menjawab, aku melarikan pandangan ke dua orang yang duduk di hadapanku. Kayaknya mereka sudah tidak peduli, karena malah sok sibuk dengan makanan masing-masing. Jangan tanya Dilla ke mana. Dia bukan anak yang akan tinggal di kampus sementara kuliah sudah usai. “Ke mana?”

Mata Ajeng langsung berbinar. “Ketemu cowok.”

“Gue lagi enggak napsu sama cowok, Jeng.”

“Heh! Gebetan gue, ya emang harusnya lo enggak nafsu!” sewot Ajeng.

“Oh, kirain lo mau kenalin gue sama cowok.” Aku berujar lega. Kukira Ajeng bermaksud merencanakan misi mencari cinta sekali lagi setelah yang waktu itu gagal total.

Tiba-tiba Ajeng menjentikkan jari di depanku. “Eh, boleh juga tuh. Apa gue suruh dia bawa temennya juga, ya?”

“Ihh, budek nih anak,” sambar Malika tanpa peduli suasana kantin yang cukup ramai. “Juwi baru aja bilang enggak nafsu sama cowok, malah niat kenalin.”

“Ya siapa tau nih temennya gebetan gue lebih ganteng gitu dari Mas Hady-nya,” balas Ajeng.

Perpaduan antara Ajeng dan Malika sangatlah tidak cocok. Herannya, kenapa mereka berdua ada dicircle pertemanan yang sama? Aku memutar bola mata malas, kayaknya aku mesti mengiakan ajakan Ajeng sebelum dua orang ini makin panas. “Ya udah, deh. Ayo!”

Ajeng menoleh cepat. “Serius, Ju?”

Aku menyampirkan totebag dan menyambar ponselku. “Iya, buru.”

“Yes! Dah, gue mau jalan sama sahabat gue.”

“Bacot!” teriakan Malika menemaniku dan Ajeng meninggalkan kantin.

Aku butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiranku.

***

“Gebetan lo yang mana?” tanyaku sembari mengedarkan pandangan. Pasalnya, tidak ada kursi yang diisi oleh seorang laki-laki. Yang ada hanya perempuan yang duduk seorang diri, beberapa pasangan, dan orang yang duduk berkelompok.

Ajeng menarikku ke meja yang posisinya berada di ujung sisi kanan. “Belum dateng kali, tapi kita janjiannya di meja ini.”

“Kalian janjian jam berapa?”

“Jam tiga.”

Kami sudah terlambat 15 menit, tapi laki-laki itu belum datang. Aku kasih nilai 7/10 buat gebetannya Ajeng. Skornya akan turun jadi 6,5/10 kalau setengah jam dari janji temu laki-laki itu belum datang. Tapi bisa naik kalau cowoknya ganteng.

“Ju, gue ke WC bentar.”

Aku mengangguk setelah Ajeng meletakkan tasnya di sebelahku.

Sejak Ajeng dekat dengan gebetannya yang akan ditemui nanti, aku tidak pernah bertanya atau benar-benar mendengar cerita Ajeng tentangnya. Bukan tidak peduli, cuma aku sudah tahu alurnya kalau Ajeng lagi pedekate sama cowok.

Semuanya. Iya, semuanya, berakhir gagal. Kenapa? Karena Ajeng selalu kembali ke pelukan mantannya yang playboy itu. Benar kata Malika, entah pelet apa yang laki-laki itu pakai sampai begonya sahabatku merasuk ke tulang-tulang.

Ponselku yang bergetar mengalihkan pikiranku dari Ajeng dan masalah percintaannya. Terlebih panggilan yang masuk dari Bunda, jadi mesti cepat diangkat. “Halo, Bun.”

“Ju, kamu udah ketemu Hady belum?

Alisku kontan terangkat. “Mas Hady?”

Iya, dia ada di Jakarta. Coba kamu bujuk dia biar nginap aja di rumah Papa kamu, biar enggak keluar uang lagi sewa hotel. Sebenarnya Bunda udah kasih tau, tapi katanya enggak enak. Masa sama Papa kamu dia enggak enak, coba ...”

Di tengah penjelasan Bunda, mataku yang sibuk menyisir keadaan restoran tiba-tiba terpaku pada laki-laki yang hendak keluar. Meski hanya melihatnya dari samping, aku masih bisa mengenalinya. Dan aku yakin dengan apa yang kulihat.

Itu Mas Hady.

Dia berjalan sambil berbincang serius bersama Adam dan satu lagi laki-laki yang tidak kukenal. Untuk pertama kalinya, selama sebulan lebih tidak melihatnya secara langsung. Rasanya aneh. Senang, gugup, kaget, terharu, semuanya muncul bersamaan sampai aku tidak tahu alasan yang mana jantungku berdebar.

Juwi? Kamu denger Bunda enggak sih?

Aku tersadar oleh suara Bunda yang melengking. “Iya, Bun. Nanti aku hubungin Mas Hady.”

Tidak. Aku tidak akan menghubunginya, tapi langsung menemuinya. Aku buru-buru memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban Bunda lalu menyambar tasku. Mas Hady sudah keluar dan aku tidak boleh kehilangan jejaknya.

Setibanya di luar, kakiku berhenti dan menengok kiri dan kanan. Di antara lalu lalang manusia, aku memaksa mataku mencari keberadaan Mas Hady. Tidak ketemu.

Sekarang aku harus memilih mencarinya ke arah kiri atau kanan. Jika aku salah memilih, Mas Hady bisa semakin jauh dan aku tidak bisa menemukannya. Akhirnya aku memilih berdasar feeling yaitu kanan.

Aku melangkah cepat, semakin jauh namun aku tidak bertemu Mas Hady. Aku mendesah putus asa, pilihanku salah. Dengan sisa harapan yang kupunya, aku berbalik. Bermaksud mencarinya Mas Hady ke arah kiri.

Dan ya, aku kembali melewati restoran yang tadi. Di saat itulah aku tidak sengaja menabrak bahu seseorang. Mungkin perempuan yang kutabrak sering berolahraga, makanya begitu bersenggolan denganku, malah aku yang oleng. Tubuh lemah tanpa otot hasil olahragaku nyaris terjatuh kalau saja tidak ada tangan yang tiba-tiba mencengkeram lenganku.

Aku berucap maaf penuh sesal pada perempuan itu lalu beralih pada orang yang menolongku. “Mak—”

Tubuhku membeku menatap laki-laki yang tersenyum padaku. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba memastikan aku tidak salah lihat.

“Mas.”

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang