Happy reading❤️
📷📷📷
Senyumku tidak luntur sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Selain karena malam ini kami resmi menjadi sepasang kekasih, juga karena Mas Hady yang menggandeng tanganku. Sebelum ini aku pernah gandengan sama Mas Hady, tapi malam ini beda. Ada manis-manisnya gitu.
Belum lagi Mas Hady yang sesekali menoleh dengan seulas senyum, bikin aku makin klepek-klepek. Pacar aku kok ganteng banget, ya. Mas Hady baru melepas tanganku saat memasuki pekarangan rumah.
“Kalian dari mana?” Pertanyaan itu menyambutku dan Mas Hady begitu membuka pintu. Papa duduk di ruang depan dengan TV menyala.
“Dari taman, Pa,” jawabku.
Sambil manggut-manggut, Papa melirik sebentar. “Ngapain ke sana?”
“Jalan-jalan, Pa. Katanya Mas Hady bosen makanya kuajak ke sana.” Aku menoleh ke arah Mas Hady. “Iya, kan, Mas?”
Mas Hady melihatku dan Papa bergantian sebelum menjawabnya ragu. “Iya.”
“Ya udah, aku mau ke kamar, Pa,” kataku dan langsung dibalas anggukan oleh Papa. Aku lalu mendorong Mas Hady agar ikut masuk ke kamarnya. Namun baru beberapa langkah, suara Papa menghentikan kami.
“Oh iya, Hady. Kamu ke sini sebentar, Papa mau ngobrol.”
Aku menatap Mas Hady, tapi dilihat dari matanya kayaknya Mas Hady juga tidak tahu apa yang ingin dibicarakan Papa. Mas Hady mengelus pucuk kepalaku dan menyuruhku istirahat sebelum menghampiri Papa.
Tahu tidak kalau feeling perempuan itu kuat? Aku percaya itu dan saat ini aku merasakannya. Jadi, dibanding menuruti perkataan Mas Hady, aku mengekor dan ikut duduk di sebelahnya.
Papa dan Mas Hady kompak melempar tatapannya ke arahku. “Kamu kenapa ikut duduk?” tanya Papa dengan kening mengernyit.
Aku mengerjap dua kali. “Emangnya aku enggak boleh ikut ngobrol?”
Papa menggeleng pasrah lalu mengabaikan keberadaanku. Perhatiannya tertuju pada Mas Hady. “Hady, kamu ingat kan teman Papa yang tadi ikut makan siang sama kita?”
Hmm, semakin mencurigakan. Dan kenapa aku tidak tahu mereka sempat makan siang bersama?
“Ingat, Pa. Om Said, kan?” Mas Hady memastikan.
Papa mengangguk. “Jadi, dia itu punya anak perempuan yang seumuran sama kamu.”
Nah! Bener, kan. Feeling cewek tuh enggak pernah salah. Tanpa harus mendengar kelanjutannya, aku tahu arahnya ke mana. Untung aku tidak langsung masuk ke kamar.
Papa melanjutkan. “Papa juga pernah ketemu sama anaknya beberapa kali. Menurut Papa, anaknya baik.”
Aku melirik Mas Hady yang cuma senyum-senyum kambing sambil terus mengangguk samar. Ah, dasar. Kayaknya aku yang mesti turun tangan. “Papa kok ngomong berbelit-belit banget, langsung aja keintinya,” selaku.
Papa mengalihkan pandangannya ke arahku. “Yang nyuruh kamu ikut dengerin siapa?”
“Ouch!” Aku memegang dadaku dengan ekspresi kesakitan. “Papa jahat banget.”
Papa menyuruhku diam dengan menempelkan telunjuknya di depan bibir lalu kembali menatap Mas Hady. “Om Said bilang dia suka lihat kamu, makanya minta Papa bikin janji antara kamu sama anaknya.”
“Papa kok mendadak jadi Pak Comblang,” kataku walau tahu Papa akan berpura-pura tuli dan mengabaikanku.
“Kamu belum punya pacar, kan?” tanya Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Movember [TAMAT]
Chick-LitDibantu temannya, Juwi bertekad move on dan mencari pengganti setelah putus dari pacar sejak SMP-nya. Targetnya sebulan. Mulai dari berkenalan dengan kakak temannya, mencari diaplikasi dating, sampai salah satu temannya menyarankan Juwi mempertimban...