duapuluh tiga (1)

41.2K 4.5K 45
                                    

Part kali ini aku bagi dua soalnya lumayan panjang dari biasanya.

Happy reading❤️




📷 📷 📷




“Bundaaaa! Temen aku mau dateng!”

“Kenapa baru bilang?”

“Ini juga mereka baru kasih tau aku, Bun. Sumpah.”

Walau aku suka-suka saja dengan sesuatu yang dadakan, tapi khusus kali ini, tidak. Bukannya aku tidak senang, hanya saja aku tidak pernah membayangkan mereka main ke Bandung.

Bunda meneguk air digelasnya hingga tandas lalu membawa piring kotornya ke wastafel. “Aduh, mereka di mana sekarang?”

Aku menarik kursi dan duduk di sana. “Baru jalan sih.”

Bunda berbalik kesal. “Ih, kamu nih kebiasaan.”

Alasan mereka jalan ke Bandung adalah menonton konser Sheila On 7 sekaligus merayakan putusnya Ajeng dengan pacar brengseknya. Katanya, kali ini Ajeng telah benar-benar putus dan tidak akan balikan lagi.

Malika yang sejak dulu meminta Ajeng mengakhiri hubungan kelewat senang segera menawarkan tiket kepada Ajeng dan Sofia—jangan tanya kenapa Dilla tidak. Dan aku adalah orang terakhir yang tahu rencana mereka.

“Berapa orang? Mereka mau mampir makan, kan?” tanya Bunda sambil membuka kulkas.

“Tiga, Bun. Mereka sih nolak tapi kupaksa.”

Aku harus menjamu mereka dengan baik karena aku juga diajak nonton konser. Totalnya ada lima tiket, dua di antaranya Malika berikan secara gratis untukku dan.. satu orang lagi.

“Bantuin sini,” panggil Bunda mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas.

“Eh, benar, Bun. Aku telepon temenku dulu.”

Sesampainya di kamar, aku mencari kontak Adit dan menghubunginya. Temanku sengaja membeli tiket untuk Adit, biar ada alasan berkenalan. Mereka tidak puas jika hanya melihat Adit dari foto. Tapi jujur aku tidak berharap banyak Adit bisa ikut.

“Dit, hari ini kamu sibuk enggak?” tanyaku tanpa basa-basi.

Iya, lagi ada acara keluarga. Kenapa, Ju?”

Benar, kan? Mungkin karena tidak terlalu berharap, aku juga tidak kecewa. “Oh, gitu, ya?”

Kenapa?” tanyanya.

“Ini temenku main ke sini terus minta aku ngajak kamu.”

Yah, maaf ya aku enggak bisa gabung. Mereka berapa hari di Bandung?”

“Besok pulang.”

Iya, Ma? Iya, iya. Ju, aku tutup, ya? Nanti aku telepon lagi.”

“Iya, enggak apa-apa.”

Sambungan telepon terputus dan aku langsung menyayangkan tiket yang terbuang sia-sia. Malika juga sih, beli tanpa konfirmasi terlebih dulu. Niat mau kasih kejutan malah rugi. Aku geleng-geleng lalu mengetik pesan di grup Movember.

Ngomong-ngomong soal grup, kayaknya aku mesti mengusulkan untuk mengganti namanya. Bukan sekarang. Nanti, lah, itu pun kalau aku ingat.

Kawan, Adit enggak bisa ikut. Dia sibuk hari ini.

Malika

Mas Hady aja, Ju. Daripada tiketnya mubazir.

Usulan Malika ada benarnya, tapi mengingat kejadian semalam aku jadi berpikir dua kali. Apa dengan mengajak Mas Hady tidak akan mengacaukanku lagi? Aku memikirkannya sampai keluar dan menghampiri Bunda. Bahkan ketika aku duduk sambil memotong kangkung.

Masih sibuk dengan pikiranku sendiri, orang yang pikirkan sejak tadi malah muncul dan duduk di sebelahku.

“Bunda,” panggil Mas Hady.

Bunda yang sibuk di depan kompor menyahut, “Hady, belum makan, kan?”

“Belum, Bun.”

Sementara Mas Hady mengisi piringnya dengan makanan, aku menghentikan gerakan tanganku dan memerhatikan Mas Hady. Jantungku baik-baik saja, tidak cenat-cenut seperti semalam. Aneh.

Tanpa sengaja mata Mas Hady mengarah padaku, tapi aku tidak berniat mengalihkan pandangan. Aku ingin tahu reaksi jantungku jika kami saling beradu tatap. Alis Mas Hady terangkat, seakan bertanya ‘Kenapa?’. Aku menggeleng lalu memutuskan netra, aku sudah tahu jawabannya. Jantungku baik-baik saja.

Baiklah. Usulan Malika aku terima.

“Kok Bunda masih masak?” tanya Mas Hady ketika aku kembali berkutat dengan kangkung di hadapanku.

“Temannya Juwi mau datang,” balas Bunda.

“Siapa?” Kali ini Mas Hady bertanya padaku.

“Temen kuliah. Malika, Ajeng, Sofia.”

Mas Hady mengernyit di tengah kunyahannya. “Bukannya ada empat orang?”

“Dilla? Bisa-bisa diruqyah abinya kalau ikut nonton konser.” Sebenarnya tidak perlu izin segala. Dilla juga tidak mungkin mau. Tuh anak imannya kuat walau empat temannya punya kelakuan ajaib dan mulut kayak comberan.

Mas Hady mengulas senyum. “Oh, kalian mau nonton konser?”

“Aku sih mau enggak mau. Merekanya maksa.” Tidak sampai memaksa juga sih, tapi aku juga tidak bisa menolak sementara tiket sudah tersedia jauh hari.

“Kenapa?”

“Walaupun aku suka tempat rame tapi kalau desak-desakan kayak di konser juga aku bakal mikir dua kali, Mas. Sentuhan sama orang, belum lagi kalau ada yang tangannya nakal. Nyopet kek, remas tete atau pantat orang.”

Mas Hady tiba-tiba terbatuk hingga aku merasa ada sesuatu yang mendarat di pipiku. Belum lagi suara benda jatuh dari belakang yang bisa kupastikan Bunda pelakunya. Aku berinisiatif mendorong gelas milikku ke hadapan Mas Hady yang masih saja batuk. Mas Hady menerimanya sambil bersusah payah mengatakan maaf.

“Juwi, mulutnya Ya Allah,” seru Bunda.

Aku menghela napas lalu membersihkan nasi di pipiku. Untung dari Mas Hady, coba orang lain. Sudah kucekik sampai minta ampun. “Emang bener kok, Bun. Gituan banyak di tempat konser. Iya, kan, Mas?”

Mas Hady mengelus-elus dadanya dengan mata berkaca-kaca. “Iya, Bun.”

“Kalau gitu kamu ikut. Jagain Juwi sama temen-temennya.”

Mas Hady melirikku sebelum menjawab, “Masuknya kan pake tiket, Bun.”

“Ada kok, Mas. Tadinya temenku mau ngajak Adit tapi Aditnya enggak bisa. Mas mau ikut?”

Mas Hady menimbang-nimbang sejenak. “Boleh.”

Aku menyambar ponselku dan mengabarkannya di grup. Kalau dipikir-pikir, bagus juga Mas Hady ikut. Uang transportasi aman. Pantatku juga aman.

“Ngomong-ngomong, konsernya siapa?”

Aku mengangkat kepala sebentar untuk menjawab Mas Hady. “Sheila On 7.”

“Oke.”

***

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang