sembilan belas

42.7K 4.8K 102
                                    

Juwi dan segala kerandomannya kembali lagi.

Happy reading❤️



📷 📷 📷




Meski Mas Hady mengaku bisa berjalan sendiri, aku tetap memegang tangannya. Takut dia pingsan. Apalagi saat di warung Mas Hady yang bilang sendiri kalau dia pusing. Aku tidak mau makin repot kalau sampai Mas Hady mendarat di aspal.

Sesampainya di kamar, Mas Hady segera menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur dan memejamkan mata. Selama mengenal Mas Hady, ini pertama kalinya aku melihatnya jatuh sakit. Dari cerita Bunda, Papa, maupun Kak Uta, terakhir Mas Hady sakit ketika neneknya meninggal. Itu pun karena Mas Hady menangis seharian lalu keesokan harinya dia demam tinggi. Setelah itu, Mas Hady terkenal sebagai laki-laki sehat. Sakitnya mentok cuma flu atau sakit kepala ringan.

Malam ini melihatnya terbaring lemah, agak mengganggu. Aku terbiasa dengan Mas Hady yang baik-baik saja. Mas Hady dengan bibir kering, mata sayu, dan napas berat membuatku khawatir.

“Mas, dah makan belum?” Aku duduk di dekatnya lalu mengecek suhu di dahinya sekali lagi. Masih sama.

“Belum, nanti aja,” jawab Mas Hady tanpa membuka matanya.

Tidak bisa dibiarkan, kalau cuma aku Mas Hady tidak akan mengindahkan perkataanku. Aku menutupi kakinya dengan selimut kemudian beranjak. Kakiku baru dua kali berayun ketika suara Mas Hady menghentikanku.

“Mau ke mana?”

Aku berbalik. “Umroh. Mau pulang, lah!”

“Enggak mau nemenin aku bentar?”

“Makanya ini aku mau pulang kasih tau Bunda.”

Mas Hady memejamkan mata sebentar lalu berkata, “Enggak usah, Bunda pasti langsung heboh.”

“Suruh siapa sakit?” sergahku bersamaan dengan ayunan kakiku yang mendekat ke tempat tidurnya.

“Aku juga enggak mau sakit, Ju.”

“Iya, aku tau Mas juga enggak mau tapi life style-nya Mas tuh berantakan makanya bisa sakit,” jelasku menggebu-gebu meski aku tidak tahu pasti apa yang dilakukannya tiga hari ini.

Tapi, aku berani simpulkan Mas Hady benar-benar sibuk. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku tidak pernah melihatnya. Padahal Mas Hady selalu menampakkan diri di rumahku, entah itu untuk sarapan, makan malam, atau sekadar ngobrol dengan Bunda.

Tidak alasan lain baginya tidak datang ke rumahku jika bukan karena pekerjaan.

Mas Hady tersenyum tipis. “Kamu tau life style juga ternyata.”

“Ihh, sakit masih aja nyebelin.”

Untung aku masih punya hati nurani jadi tidak sampai menendang jatuh dari ranjang. Tanpa memedulikan panggilannya, aku keluar dari kamarnya dan menuju rumahku.

“Bundaaaa!” teriakku begitu pintu kudorong. Tidak mendengar sahutan, aku melangkah cepat mencari Bunda dan sampai di meja makan. Bunda dan Kak Uta menoleh melihat kedatanganku.

“Apaaa?” sahut Bunda lalu memasukkan kue kering ke mulutnya.

“Mas Hady sakit, Bun.”

Alis Bunda terangkat tinggi bersamaan dengan decitan kaki kursi yang secara tiba-tiba didorong. “Ya Allah, anak cowok Bunda. Dia sakit apa?”

“Demam.”

Bunda meneguk air digelas dan buru-buru melesat ke kamarnya. Maklum saja, anak kesayangannya sakit tapi jujur aku tidak cemburu sama sekali. Karena Bunda juga melakukan hal yang sama kalau aku atau Kak Uta yang sakit.

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang