delapan belas

42.9K 5K 43
                                    

Malam semuaaaa🎉
Haju couple balik lagi!

Happy reading❤️




📷 📷 📷




Lupakan tentang mendapatkan pacar di bulan November ini. Sumpah, aku menyerah. Dorongan dari Ajeng tidak lagi menyemangatiku karena kenyataannya Adit tidak mungkin mengajakku berpacaran minggu depan.

Dia bahkan kelihatan tidak tertarik padaku. Tiga hari ini, setelah aku mendapatkan nomornya, yang lebih banyak memulai ya aku. Satu kali pun dia tidak pernah menghubungi duluan. Karena itu aku mengubah rencana. Tidak perlu bulan November, aku hanya harus punya gandengan begitu kembali ke Jakarta. Dan waktunya masih ada sebulan.

Malam ini, aku memberanikan diri mengajak Adit jalan. Sayangnya, satu jam berlalu namun balasan dari Adit belum masuk. Entah dia sudah melihatnya dan memilih mengabaikannya ataukah dia memang sedang sibuk.

Aku butuh es krim untuk mendinginkan kepalaku dan warung Amel adalah tujuanku. Tinggal beberapa langkah hingga aku sampai namun aku terpaksa berhenti begitu berpapasan dengan Mas Hady yang sepertinya baru saja mampir di warung Amel. Bukan asal tebak, ya. Dia nenteng kantong kresek tuh. Mana isinya kelihatan, mi instan.

“Mau ke mana?” tanya Mas Hady.

“Beli es krim. Dah!” pamitku sembari melompat-lompat melewatinya. Belum jauh dari Mas Hady, kerah belakang kausku tiba-tiba ditahan hingga aku tercekik. Aku memegang leherku lalu berbalik cepat.

“Mas, kalau mau ngebunuh enggak gini caranya dong!”

Mas Hady meringis. “Sori, aku bingung mau pegang yang mana.”

Aku mengangkat tanganku. “Ini bisa,” lalu memegang ujung kausku, “ini juga bisa.”

“Maaf, Ju. Serius aku enggak sengaja,” katanya menyesal.

Aku mengangguk bukan karena mukanya menunjukkan rasa penyesalan tapi lebih ke ekspresinya yang kusut. Mas Hady kayaknya lagi capek banget. Terakhir aku melihatnya saat ke studio, tiga hari lalu.

“Jadi, kenapa nahan aku?”

Mas Hady tersenyum dengan mata sayu. “Traktir dong!”

“Es krim?”

Mas Hady mengangguk.

“Beli sendiri, lah! Mas kan kerja, masa minta traktir sama mahasiswa kayak aku.”

“Yang paling murah aja, Ju.”

Aku mendengus. “Ya udah, ayo!”

Amel menyambutku saat aku sampai di warungnya. Tanpa berbasa-basi, aku melipir ke kulkas es krimnya bersama Mas Hady di sebelahku.

“Yang enak yang mana?” tanya Mas Hady.

“Mas tadi minta yang paling murah, nih,” kataku menyodorkan satu es krim cokelat.

“Ikhlas, kan?” Mas Hady menerimanya.

“Iya dong! Buat Mas apa sih yang enggak,” godaku lalu mencolek pipinya.

Mas Hady mengernyit. “Kamu mabok?”

“Astaghfirullah, sebejat itukah aku di matamu, Mas?” tanyaku sok dramatis.

Mas Hady geleng-geleng kemudian memasukkan es krim ke mulutnya.

“Ju, uang kamu pas enggak?” Suara Amel mengalihkan perhatianku.

“Iya, pas.”

“Oh, tinggal aja di meja. Aku mau masuk, nonton.” Amel menghilang tanpa mendengar jawabanku. Amel itu walau seusia denganku, jiwanya emak-emak parah. Gabung gosip sama genk-nya Bunda, ngerujak bareng, nonton sinetron juga iya.

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang