Ternyata Adit bukannya tidak datang. Tapi saat aku tiba, Adit sedang keluar atas suruhan A’ Ivan. Ada masalah pekerjaan yang harus diurusnya sekalian membeli camilan pengganjal perut. Sekarang aku duduk melantai membentuk lingkaran dengan Mas Hady dan A’ Ivan di sebelahku dan Adit tepat di hadapanku.
Bersama Mas Hady, Adit telaten membuka bungkus dan menata berbagai macam gorengan di piring. Ada tahu isi, bakwan, pisang goreng, dan lumpia. Porsinya lumayan banyak tapi masuk akal, setahuku laki-laki makannya banyak.
Sementara A’ Ivan, hampir saja aku mendengus. Dia sibuk dengan ponselnya sambil senyum-senyum. Tanpa melihatnya pun aku bisa tahu dia lagi melancarkan gombalannya. Aku geleng-geleng kepala. Lebih baik aku memerhatikan Adit seorang.
Aku mengambil botol air mineral dan berpura-pura sulit membukanya. Adit tolong lihat aku sebelum Mas Hady atau A’ Ivan sadar. Dan.. ya! Adit mengangkat pandangan, mengulurkan tangannya agak ragu.
“Aku bantuin.”
Kucetak senyum tipis sembari menyerahkan botol pada Adit.
“Makasih,” kataku saat Adit mengembalikan botolnya.
Tahu tidak? Manusia itu kadang tahu jika ada orang yang melihat ke arahnya dan aku merasakannya sekarang. Dan saat aku menoleh ke sisi kananku, Mas Hady menatapku dengan alis nyaris bertemu.
Oh, yeah! Tentu Mas Hady tahu aku tidak selemah itu sampai butuh bantuan. Membuka tutup sirup dengan gigi saja aku bisa. Tapi, namanya usaha. Akan kan butuh perhatian Adit. Kali ini, aku tidak akan menyia-nyiakan pertemuanku dengan Adit.
Setidaknya sepulangnya dari sini, ada rasa yang mulai muncul di hati Adit. Lalu setibanya di rumah, Adit akan memikirkanku seharian. Bahkan sebelum tidur pun dan dalam mimpi aku muncul lagi. Kemudian esok harinya, Adit akan sadar bahwa dia telah sepenuhnya tertarik dan aku tinggal menunggu pesan darinya.
“Apa?” ucapku sengit pada Mas Hady.
“Nih!” Mas Hady menjejalkan pisang goreng ke dalam mulutku.
“Ihh, Mas!” Aku memukul lengannya. Rese banget. Kalau berdua aku tidak masalah, ini di depan orang malah disumpal-sumpal.
“Berantem mulu. Kenapa enggak pacaran aja sih?” goda A’ Ivan sambil mencomot bakwan dipiring.
“Bukan tipeku, A’.”
“Tumben nih ada cewek yang enggak suka sama Hady. Memangnya tipe kamu gimana, Ju?”
“Kayak Adit,” balasku cepat. Dan aku segera sadar. Mulutku bersuara tanpa mengizinkan otakku berpikir lebih dulu.
Juwi, sekarang kamu menunjukkan sisi agresifmu ke Adit.
“Wow! Adit, lampu hijau, Dit!” seru A’ Ivan semangat sambil bertepuk tangan.
Sepertinya aku memang tidak bisa menjadi perempuan pemalu. Malahan Adit yang tampak tersipu karena kata A’ Ivan barusan. Kalau begini, meski saling suka hubunganku dengannya tidak akan bergerak maju.
Aku merogoh ponsel disaku depan perutku dan menyodorkannya pada Adit. “Minta nomer kamu.”
Sorakan A’ Ivan makin menggila. Entah bagaimana dengan Mas Hady, suaranya tidak terdengar dari tadi. Mungkin sedang beristighfar berulang kali karenaku.
“Ambil, Dit,” kata Mas Hady karena Adit terus membiarkan tanganku menggantung.
Aku menoleh ke arahnya, lalu mengernyit saat Mas Hady membalas tatapanku sembari tersenyum tipis. Ih, aneh banget.
***
Kami sampai di depan rumahku ketika langit sudah gelap. Meski berada di luar dari tengah hari, jujur saja aku tidak merasa lelah sama sekali. Yang ada aku malah semangat dan energiku seperti diisi ulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Movember [TAMAT]
ChickLitDibantu temannya, Juwi bertekad move on dan mencari pengganti setelah putus dari pacar sejak SMP-nya. Targetnya sebulan. Mulai dari berkenalan dengan kakak temannya, mencari diaplikasi dating, sampai salah satu temannya menyarankan Juwi mempertimban...