sepuluh

48.5K 5K 159
                                    

Cewek ajaib muncul lagi!

Happy reading❤️




📷 📷 📷




Dalam perjalanan pulang, aku terus mengusap-usap kepalaku agar nyut-nyutannya hilang. Tarikan perempuan tadi ternyata kuat juga, padahal tubuhnya kurus. Semoga dia merasa sakit yang sama denganku. Ah, tidak. Lebih sakit dariku.

“Mas, kenapa usahaku enggak ada yang berhasil?”

Mas Hady melirik sekilas. “Memangnya kamu lagi usahain apa?”

“Cari penggantinya Farraz.”

“Untuk balas dendam ke dia?”

Aku mengangguk lemah.

“Dari awal, niat kamu salah.”

Aku tidak memedulikan perkataan Mas Hady. Mau benar kek, mau salah kek, aku tetap akan terus mencari. Mungkin dengan menemukan orang itu, dia bisa membantuku melupakan Farraz.

“Apa aku glow up aja ya, Mas? Biar dia nyesel.”

Ideku cemerlang juga. Melihat mantan yang jauh lebih baik dan menarik sehabis putus bisa membuatnya menyesal. Bisa jadi lebih daripada aku mendapatkan penggantinya.

Aku menyerong posisi dudukku ke arah Mas Hady. “Temenin aku olahraga, Mas.”

“Tiba-tiba?”

“Soalnya Farraz pernah bilang kalau perut aku bergelambir. Makanya aku mesti olahraga biar ramping.”

Mukaku tidak buluk-buluk banget jadi hal pertama yang mesti aku rombak adalah tubuh. Khususnya perut. Nah, setelah itu baru aku lanjut ke muka.

Mas Hady geleng-geleng namun matanya tetap fokus ke depan. “Dia ngapain pegang perut kamu?”

“Kalau ciuman kan tangannya ke mana-mana, Mas. Bahasanya tuh grepe-grepe,” jawabku.

Mas Hady merem tiba-tiba hingga aku terantuk ke depan. Untungnya di depan memang lampu merah. “Hei, mulutnya!”

“Aku tuh ngomong jujur, Mas. Lagian zaman sekarang mana ada orang pacaran mentok cuma jalan berdua, chat, telponan. Bullshit.”

“Iya tapi pilih bahasa yang lebih halus kan bisa.”

Aku memutar bola mataku ke atas, berpikir. “Bahasa halusnya grepe-grepe apa?”

“Juwi, astag—”

“Pegang-pegang? Oh! Anu, remas-remas?”

Mulutku tiba-tiba dibekap oleh tangan besar yang cukup menutup setengah mukaku. “Cukup. Kita omongin hal lain. Besok mau olahraga?”

Aku menarik turun tangan Mas Hady begitu mendengar tawarannya. Tadinya aku mau marah karena dia memegang wajahku sembarangan tapi tidak jadi. Kali ini aku maafkan.

“Oh, besok! Mas serius temenin aku? Pagi atau sore?”

“Pagi.”

“Okay! Eh, tapi, Mas.”

“Apa?”

“Sepatu olahragaku di rumah Papa.”

“Pinjam punyanya Uta.”

“Oh, iya.”

Mas Hady melajukan mobilnya begitu lampu berubah hijau.

“Tapi, Mas.”

“Apa lagi?”

“Kita olahraga apa?”

***

Tepat pukul tujuh pagi, aku sudah siap di depan rumah bersama Mas Hady yang baru saja tiba membawa dua sepeda. Sejenak aku diam lalu menatap Mas Hady dan sepedanya bergantian.

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang