dua

67.7K 5.8K 84
                                    

Happy reading❤️




📷 📷 📷




“Juwi! Kamu ke rumah Hady, ajak dia sarapan sama kita!”

Belum juga lima menit pantatku duduk, kursinya belum panas ini! Bunda sudah memandatkan amanah padaku. Bukan maksudnya malas tapi ini tahun 2022. Ada teknologi yang namanya ponsel dan salah satu kegunaannya adalah menghubungi seseorang dari jarak jauh.

Jadi, kenapa tidak ditelepon aja gitu loh.

Aku bangkit, bermaksud mengambil ponselku di kamar namun malah berpapasan dengan Kak Uta.

“Bunda udah telepon tapi enggak diangkat,” kata Kak Uta seakan tahu apa yang ada di kepalaku.

Kalau begini caranya, lebih baik aku kembali ke Jakarta. Aku mencepol asal rambutku lalu menyambar kunci yang tergantung di dekat pintu. Duplikat kunci rumah Mas Hady. Ya, sedekat itu keluargaku dengan Mas Hady.

Bagi orangtuaku, Mas Hady itu sudah seperti anak kandung. Keluar masuk ke rumahnya adalah hal biasa. Pun begitu dengan Mas Hady. Makanya aku tidak kaget menemukan dia di rumahku kemarin.

Kedekatan kami bermula dari kepindahan Mas Hady bersama neneknya, ditambah Kak Uta satu sekolah dengannya. Beberapa bulan sebelum kelulusan SMA, nenek Mas Hady berpulang dan itu membuat Bunda makin menyayangi Mas Hady. Apalagi kata Papa, Bunda itu dari dulu pengen anak cowok.

Hampir setiap hari Mas Hady diajak makan bersama di rumahku. Atau kalau Mas Hady menolak datang, aku atau Kak Uta yang ke rumahnya membawa lauk. Tapi walau sering bertemu, sebenarnya aku tidak sedekat itu dengan Mas Hady. Maksudnya, aku tidak pernah berbincang serius dengannya dan berbagi masalah pribadi. Mentok cuma basa-basi ringan atau saling ledek.

Sesampainya di rumah Mas Hady, aku mencoba mendorong pintunya dan.. terbuka. Tidak dikunci ternyata. Aku memasukkan kunci yang tadi kuambil ke saku celana trainingku.

“Mas!” teriakku.

Tidak ada jawaban.

Tolonglah. Jangan membuat kesal orang yang berusaha menyembuhkan luka di hatinya. Sekali lagi aku memanggil namanya dan masih hening.

Dengan sangat terpaksa aku menuju kamarnya. Namun belum sempat mendorong pintu, aku mendengar gemericik air dari kamar mandi tepat di sebelah. Aku mendekat dan menempelkan telingaku ke pintu, memastikan. Siapa tahu kan aku salah dengar.

Ini kamar mandi kedap suara atau bagaimana. Masa teriakanku tidak terdengar! Aku mendengkus lalu masuk ke dalam kamarnya. Rencananya aku mau langsung berbaring di kasurnya namun bergeming ketika beberapa foto yang tertempel di dinding lebih menarik mataku.

Ada dua foto pemandangan, foto candid Bunda, dan foto nenek Mas Hady. Ujung bibirku tertarik ke atas memerhatikan foto Bunda. Foto ini diambil dari rumah Mas Hady, sementara Bunda berada di depan pagar dan menyapa tetangga lengkap dengan senyum lebarnya.

“Juwi!”

Aku berbalik mendengar teriakan Mas Hady. Hampir saja aku bersiul melihat pemandangan indah yang diberikan Mas Hady secara cuma-cuma. Tubuhnya yang masih menyisakan titik-titik air dan hanya dibalut handuk yang terlilit di pinggangnya.

Itu tuh definisi dilihat dosa, enggak dilihat mubazir.

Maafkan hamba-Mu kali ini saja Ya Allah.

“Oi!” balasku berusaha bersikap biasa saja.

Mas Hady mengernyit. “Kamu ngapain?”

Mataku mengikuti Mas Hady yang menuju lemarinya dan memakai kaus secepat kilat. Yah, padahal aku belum puas. “Disuruh Bunda sarapan di rumah.”

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang