enam belas

45.6K 5K 22
                                    

Kemarin aku tidak mendapatkan hasil apa pun. Belum sempat berkenalan dengan Adit, Mas Hady memintaku pulang. Dan sialnya, aku tidak punya lagi alasan tinggal. Dengan sangat terpaksa aku melewatkan kesempatan yang berada tepat di depan mata.

Adit itu tipe-tipe laki-laki pendiam, santun, kebalikannya A’ Ivan. Ya, setidaknya itu penilaian pertamaku. Masalah apa yang tampak dan sebenarnya, itu urusan belakangan. Yang paling penting, Farraz tidak bisa meremehkan penampilan Adit.

Makanya saat ini aku sedang memikirkan cara agar Adit tertarik padaku. Walau terkesan tidak punya malu, aslinya aku juga masih gengsi. Meminta kontaknya duluan bisa menghancurkan reputasiku di depan teman-teman Mas Hady. Orang itu bisa jadi malah mengejekku jika tahu.

Sudah hampir sejam aku duduk di teras rumah, tanpa melepas pandanganku dari rumah Mas Hady. Siapa tahu teman Mas Hady yang kemarin datang lagi, terkhusus Adit.

Bahkan aku sudah berdandan semaksimal mungkin agar bisa berlari begitu melihat kedatangan Adit. Pakaian? Oh, jangan ditanya. Hari ini tidak ada kaus longgar dan celana training. Aku mengenakan jumpsuit di atas lutut biar agak feminim.

Bayangan tentang pertemuanku dengan Adit buyar saat Mas Hady keluar dari rumahnya dengan pakaian rapi. Aku menegakkan punggung melihatnya menaiki motor. Tanpa pikir panjang, aku berlari menghampirinya. Merentang kedua tanganku menghalangi jalan keluarnya.

“Mas! Mau ke mana?”

Mas Hady mendorong kaca helmnya. “Studio.”

“Ini kan Minggu!”

“Ada kerjaan.”

“Ikut!”

Mas Hady menggeleng. “Enggak.”

Aku mendengus. “Waktu itu Mas pernah janji sama aku.”

“Juwi, minggir,” katanya tenang.

“Mas!” Aku mengatupkan dua tanganku di depan dan memasang tampang memelas. “Boleh, ya?”

Mas Hady diam. Itu artinya dia sedang mempertimbangkan. Saat Mas Hady akhirnya mengangguk meski kelihatan terpaksa, senyumku langsung mengembang. Adit i’m coming!

“Eh, tunggu!” Mas Hady menahanku saat aku ingin naik ke motornya.

“Kenapa?”

“Enggak ganti baju?”

Pandanganku turun memindai penampilanku dan kembali menatap Mas Hady. “Baju aku kenapa?”

“Kependekan itu. Kita naik motor, Ju.”

“Pendek apanya?” seruku tidak terima. “Ini hampir selutut kok.”

“Ya tetep aja. Kalau kamu duduk, itu makin pendek.”

“Biar seksi, Mas,” balasku lelah. Perkara pakaian saja aku mesti berdebat lagi dengannya. Lagi pula di lemariku sudah tidak ada pakaian yang cocok kupakai bertemu laki-laki incaran.

“Juwi, i—”

“Kita kapan berangkatnya, Mas?”

Mas Hady menghela napas pendek lalu melepas helmnya. Aku makin panik saat Mas Hady turun, aku takut dia tidak jadi ke studio. “Mau ke mana?”

“Ambil helm,” jawabnya sambil berlalu dari hadapanku.

Selang beberapa menit, Mas Hady keluar membawa helm dan jaket. Dua langkah di depanku, Mas Hady berhenti dan menyerahkan kedua benda yang dipegangnya. “Jaketnya buat tutupin kaki kamu.”

Aku mengangguk cepat. Kalau aku membantahnya lagi, bisa-bisa Mas Hady kehilangan kesabaran. Jadi, saat Mas Hady naik ke motor, aku segera menyusul dan menutupi kakiku dengan jaketnya.

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang