tiga belas

47.8K 5.3K 130
                                    

Sepanjang hari ini, suasana hatiku terbilang cukup baik. Tidak ada yang membuatku kesal dan rentetan kegagalanku kemarin coba aku terima dengan lapang dada. Aku jalan seorang diri, berbelanja skincare, beberapa potong pakaian dan menikmati makanan kesukaanku.

Untuk sesaat aku berpikir menikmati waktu sendiri saja. Karena ternyata rasanya tidak seburuk itu. Tapi, mendadak ada bisikan tentang bagaimana bangganya Farraz jika aku tetap sendiri. Dia akan mengira aku tidak bisa melupakan dan menemukan seseorang yang lebih baik darinya.

Hingga akhirnya, dimalam santaiku Ajeng mengirimkan tangkapan layar dari story Farraz. Itu foto Farraz bersama perempuan yang aku tidak tahu. Detik itu juga aku bertekad tidak akan menyerah dan melanjutkan misi mencari penggantinya.

Aku menuju ke rumah Mas Hady setelah mendapat saran yang sangat cerdas dari Ajeng. Jujur saja, ini pertama kalinya aku mengatakan Ajeng cerdas. Dalam bidang akademik, dia nol besar. Sebelas dua belas lah dariku. Tapi, aku sedikit mendingan darinya.

“Mas!” teriakku begitu pintu rumahnya kudorong.

Kulihat pintu kamarnya terbuka tidak lama kemudian. Dengan wajah panik Mas Hady menghampiriku. “Kenapa?” tanyanya sambil menatap melewati punggungku.

“Kenalin aku sama temen Mas,” jawabku cepat.

Mas Hady menatapku sebentar. Mundur selangkah lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Jadi, kamu teriak cuman karena itu?”

Aku menggeleng dramatis. Maju selangkah dan memegang pundaknya. “Bukan cuman, Mas. Ini sangaaaat penting. Bahkan lebih penting dari semua yang penting di dunia ini.”

Mas Hady mengernyit sembari mengibaskan tangan di depan hidungnya. “Kamu habis makan apa?”

“Jengkol. Bau, ya?” Aku menaruh tanganku di depan mulut dan mengembuskan napas. Memang agak bau sih, tapi kan wajar. Namanya juga jengkol.

Saat aku mengangkat pandangan, Mas Hady sudah jauh meninggalkanku. Oh, tidak boleh. Malam ini aku harus berkenalan dengan teman Mas Hady. Aku segera menutup pintu dan berlari kecil menyusulnya.

“Mas.”

“Apa?”

“Temen Mas banyak, kan?” tanyaku hati-hati sambil terus mengikutinya. Mulai dari masuk ke kamarnya, mengambil laptop, keluar lagi dan duduk di ruang depan.

Mas Hady bergumam tak jelas.

Aku duduk menempel di sebelahnya. “Kira-kira ada yang cocok enggak sama aku?”

Mas Hady berhenti mengedit satu foto yang terlihat dilayar laptopnya lalu menoleh. Mata kami bertemu seketika itu juga dan jaraknya terlalu dekat. Aku bahkan bisa merasakan napas Mas Hady menerpa wajahku. Untungnya aku cepat sadar dan menarik tubuhku menjauh darinya.

“Mereka brengsek semua,” kata Mas Hady setelah sejenak diam.

“Brengsek gimana? Mereka suka tidurin cewek?” bisikku penasaran. Padahal hanya ada aku dan Mas Hady.

Mas Hady mengulas senyum tipis, kembali menatap laptopnya sembari menjawab pertanyaanku, “Bukan suka juga tapi karena mereka enggak mau komitmen jadi walaupun suka atau tertarik, paling berakhir diranjang.”

“Kalau suka kenapa enggak diseriusin?”

Gerakan tangan Mas Hady berhenti. Ujung bibirnya terangkat lagi kemudian meletakkan laptopnya di meja. “Juwi,” panggil Mas Hady sambil mengangkat satu kakinya dan menyerong posisi duduk hingga menghadap sepenuhnya ke arahku.

Seakan terhipnotis, aku ikut menyerong dan sekarang kami duduk berhadap-hadapan.

“Suka yang dirasakan di sini hampir sama seperti tertarik. Bukan soal hati tapi cuma fisik.”

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang