Akibat dari kesalahpahaman tiga hari lalu, aku mengalami trauma berat. Seumur-umur aku tidak pernah merasakan apa itu trauma. Dan selama itu pula sebisa mungkin aku menghindari Mas Hady. Pokoknya tidak boleh ada kontak mata. Kalaupun kami harus berada di meja makan yang sama, aku akan buru-buru menghabiskan nasi dipiring lalu membuat alasan agar aku bisa bersembunyi di kamar sampai Mas Hady pulang.
Sebenarnya aku tidak sepenuhnya menghindar. Hanya butuh waktu sampai maluku berkurang dan aku bisa bersikap santai lagi di depan Mas Hady. Masalahnya, aku tidak tahu sampai kapan.
Hari ini pun aku keluar dari rumah, mengajak siapa saja yang mau menemaniku. Mulai dari teman SD, SMP, sampai SMA. Takut Mas Hady tiba-tiba datang sementara Bunda biasanya nongkrong di rumah tetangga.
Aku baru sampai di rumah jam sembilan malam setelah memikirkan segala kemungkinan bisa bertemu Mas Hady. Semisal dia kebetulan makan malam di rumahku, jadi aku berpikir pulang setelah itu.
“Bunda aku pulang!” teriakku begitu pintu kudorong.
Aku berhenti saat melihat pintu kamar Bunda tertutup. Keningku mengernyit, tidak biasanya Bunda tidur secepat ini. “Bunda udah bobo?” tanyaku. Tidak mendapat jawaban, aku menyimpulkan Bunda sudah tidur. Jadi, aku kembali ke pintu dan menguncinya.
Hari ini Kak Uta tidak pulang. Tadi pagi dia memang izin sama Bunda untuk menjenguk calon mertuanya yang sedang dirawat di rumah sakit, sekalian menginap di sana. Uh, calon menantu yang sangat baik hati.
“Masih ada makanan enggak, ya?” gumamku sambil mengusap-usap perut menuju dapur. Burger yang kumakan tadi cuma menggelitik perutku, aku butuh nasi untuk merasa kenyang.
Dibalik tudung saji, aku menemukan bakwan lengkap dengan sambal tumisnya. Dengan senyum mengembang, aku mengambil satu dan mencocolnya ke sambal. Hmm, kurang pedas. Toleransi kepedasanku dan Bunda memang beda jauh. Aku mengambil teflon, menumis sambalnya dan menambahkan cabe halus yang memang Bunda selalu sediakan di dalam kulkas. Biar praktis pas masak katanya.
Sembari menunggu sambalnya, aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Mengecek notifikasi yang memenuhi layar ponselku. Namun ada satu pesan yang menarik perhatianku. Dari Bunda, sejam yang lalu.
Juwi, malam ini Bunda nyusul Kakak kamu, ya. Kondisi mamanya Galih memburuk. Bunda udah minta tolong Hady nemenin kamu malam ini.
Sekujur tubuhku mendadak dingin. Pembahasan di basement waktu itu langsung terlintas di kepalaku.
“T-terus Mas mau bahas apa?”
“Ini soal laki-laki yang kamu lihat pas kita pulang nonton konser. Aku udah cek di CCTV tetangga samping rumahku dan orang itu cukup lama mondar-mandir dekat rumah.”
Aku mengernyit. “Maling?”
“Bisa jadi. Dia lagi baca situasi.”
Ingatanku bergerak mundur. Saat aku pulang bersama Mas Hady dan merasa ada seseorang di lahan kosong samping rumahku. Aku ingin keluar tapi bagaimana caranya? Pintu terkunci dan aku harus melewati kamar Bunda yang bisa jadi di dalamnya ada seseorang. Pandanganku lalu beralih ke kamar mandi, tanpa pikir panjang aku masuk ke sana.
Setelah mengunci pintu dengan tangan gemetar hebat, kepalaku mendadak kosong. Aku memejamkan mata sambil mengatur napas, oksigen di sekelilingku rasanya menipis. Ayo Juwi, pikir apa yang harus dilakukan? Siapa yang bisa kumintai tolong?
Adit!
Walau belum sepenuhnya tenang, aku segera mencari kontak Adit dan menghubunginya. “Adit, please angkat,” bisikku.
Sekali lagi aku menghubunginya namun tetap sama. Adit tidak mengangkatnya. “Kamu ngapain sih?”
Aku nyaris putus asa dan menangis kalau saja tidak mengingat Mas Hady. Sambil mencari kontaknya, aku berdoa Mas Hady sudah pulang dan berada di rumahnya sekarang. “Mas, angkat.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Movember [TAMAT]
ChickLitDibantu temannya, Juwi bertekad move on dan mencari pengganti setelah putus dari pacar sejak SMP-nya. Targetnya sebulan. Mulai dari berkenalan dengan kakak temannya, mencari diaplikasi dating, sampai salah satu temannya menyarankan Juwi mempertimban...