"Ada apa, Bu?"
Saat ini, Joohyun tengah menghadap sang bos, Jennie.
"Sementara ini, saya minta tolong kamu buat jadi sekretaris saya sementara. Karena, saya belum mau merekrut sekretaris baru. Jadi, saya minta tolong kamu untuk sementara ini, ya?" Joohyun nampak ragu, namun akhirnya Joohyun mengangguk paham.
Jennie tersenyum melihat respon baik Joohyun. "Oke. Jadi, tugas sekretaris kamu cuma atur jadwal pertemuan saya dengan klien baru. Terus, kamu juga ikut saya ke pertemuan penting saya dengan klien," tutur Jennie.
"Baik, Bu. Terima kasih buat penjelasan tentang tugas sekretarisnya. Saya senang bisa bantu bu Jennie," ujar Joohyun. Jennie mengerut alisnya.
"Seharusnya, saya yang berterima kasih sama kamu, Joohyun. Kamu mau membantu saya saat ini," ucap Jennie. Joohyun hanya tersenyum malu saja, karena ia benar-benar kaget akan pangkatnya yang tiba-tiba naik seperti ini.
"Baik kalau begitu, Bu. Saya mau kembali ke ruangan saya—"
"Buat apa? Ruangan kamu di sebelah ruang kerja saya ini," jelas Jennie.
Joohyun bingung. Apa ruangan yang dimaksud Jennie itu ruangan yang di tempati Jong In dulu?
"Nanti, saya akan suruh beberapa orang untuk bantu kamu memindahkan barang barang kamu, ya?" Joohyun mengangguk paham serta membungkuk, lalu pamit keluar dari ruangan Jennie.
Jennie menghela napas. Setelah Jong In mengundurkan diri, jadwal Jennie menjadi tidak karuan. Untung saja, Chaeyoung segera membantu Jennie mengurus jadwal kembali dengan para klien. Sehingga, hampir semua tender, Jennie bisa menangkan.
Teringat Jong In, Jennie kembali dirundung kesedihan.
Foto itu jelas terekam dimemorinya. Meninggalkan sedikit sesak di dalam dadanya. Bahkan, walau menghembuskan napas berkali kali, Jennie masih merasakan sesak itu.
"Padahal, aku berharap, aku masih ada kesempatan buat kejar kamu. Aku masih cinta sama kamu, Jong In," Jennie menatap langit langit ruangannya, untuk menahan sesuatu yang ingin keluar dari matanya.
"Walau laki-laki itu bisa buat aku nyaman. Tapi, sebagian besar hatiku masih ada kamu. Asal kamu tahu, kalau aku gak bisa tidur, cuma mikirin apa yang lagi kamu lakukan sekarang. Aku gak bisa pergi dari bayangan kamu yang ada di mana-mana, bahkan di ruangan ini," lirih Jennie sambil menidurkan kepalanya di meja kerjanya. Air matanya tak bisa ia tahan lagi.
Benar. Walau Jungkook bisa membuat Jennie nyaman di dekatnya, tapi Jennie tidak bisa menggantikan Jong In dengan Jungkook secepat itu. Walau, perjodohan ini menjadi tempat ia bisa move on, tapi nyatanya, Jennie masih belum bisa.
Jennie mengerang kecil, kala pergelangannya tersayat karena ujung meja kerjanya yang runcing, disaat ia ingin mengambil tisu.
Ia segera berlari menuju wastafel dekat pintu kamar mandi ruang kerjanya. Menyalakan kran air, dan membersihkan luka sayatan itu dengan air mengalir. "Akh, perih banget," keluh Jennie saat ia menekan luka itu. Perlahan, darah berhenti mengalir.
Dengan cepat, Jennie membuka laci kedua dari atas. Ia menemukan kotak plastik transparan, lalu dengan cepat, Jennie mengambilnya.
Dalam kotak itu, ada plester, kasa, perban, obat merah, dan secarik kertas yang menempel di balik tutup kotak itu.
Jennie mengobati pergelangannya dengan teliti dan perlahan, sehingga luka sayatan di pergelangannya, tertutup kapas dan plester yang merekat.
"Astaga, tajam banget ujung meja kerja gua," gumam Jennie sambil menatap tak suka pada ujung meja kerja yang menyayat tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Younger) Husband (Uncontinued)
FanfictionPERJODOHAN memangnya masih berlaku dijaman seperti ini? ah kulot sekali! Namun, itu tidak membuat Tuan Kim mengurungkan niatnya. Yakni, menjodohkan anak perempuannya kepada anak saudara 'angkat'nya. Jennie Kim. siapa yang tidak kenal CEO dari Kim'...