5

9.8K 699 19
                                    

Satu minggu telah berlalu. Seperti biasa Rani membuat kue. Betapa bersyukurnya ia, ada beberapa pelanggan yang memesan kue ulang tahun.
Tidak sia-sia belajar membuat kue dengan mamanya dulu. Ah, rindu sekali dengan kedua orangtuanya. Bagaimana mereka begitu jahat meninggalkannya dan Kanza sendiri. Keluarga kedua orangtuanya tinggal di kota yang berbeda.

"Mbak cake ini nanti diambil jam berapa?"

Rani berbalik menatap Briona. Gadis cantik yang ia pekerjakan.

"Entar jam 2 Bri. Oh, yah aku mau jemput Kanza dulu."

Rani menepuk keningnya. Jam sudah menunjukkan jam 11, puterinya pasti lama menunggu.

"Kamu jaga toko yah."

Rani berlarian kecil, mngambil tas selempangnya dan mencari taksi. Tapi  langkahnya terhenti melihat Kanza dalam gendongan Hiro. Ada apa ini, kenapa jantungnya berdetak kencang melihat pemandanga ini. Jika sajah Hiro adalah suaminya. Rani menggeleng pela Ia mengusir pemikiran aneh yang terlintas. Ingat Hiro suami orang.

Matanya menatap Kanza yang masih dalam gendongan Hiro. Ia mendekat, matanya melotot, jantungnya berpacu dengan cepat. Apa yang telah terjadi pada puterinya.
Siku dan lututnya lecet berdarah. Tapi tidak ada air mata di pipihnya.

Rani segera mengambil alih tubuh Kanza.
Walau Hiro menolak dan ingin terus menggendong Kanza. Walau aneh tapi Kanza merentangkan kedua tangannya pada Rani. Jadi sebagai orang ibu, hatinya pasti kacau melihat puteri kecilnya terluka.

"Apa yang terjadi?" Tanya Rani khawatir.

"Dia tersempret motor."

"Apa?" Rani memekik kencang. Segera berlari mengambil kotak obat.

Dua manusia dewasa itu terus menatap gadis kecil yang bahkan bersikap acuh pada luka-luka. Beda dengan Rani yang hampir jantungan. Hiro mengerutkan keningnya bingung. Apa puterinya punya gangguan. Bahkan rasa sakit pada luka-lukanya tidak ia pikirkan. Matanya malah asik menatap luar jendela.

Sedangkan Rani wanita ini bahkan meringis ketika mengobati Kanza. Tapi Kanza malah diam adem. Sepertinya puterinya memang sesuatu.

"Udah ah ma, Kanza mau main di taman."

Rani melotot pada puteri nakalnya yang menatapnya polos.

"Ini luka, itu luka. Lihat tangan dan kaki lecet. Tapi masih bandel pengen main ke taman."

Kanza mengangguk polos. Lalu memohon dengan mata polosnya.

"Gak, mama bilang gak akan. Gak bakal mempan sama mama."

"Ada seribu seratu cara menuju Roma."

Rani melotot pada puteri nakalnya.

"Siapa yang ngajarin ngomong kayak gitu?"

Dua orang beda umur ini terus bertengkar tampa menyadari jika Hiro masih bersama mereka.

Hiro pria itu terkikik melihat adegan ini. Ah rasanya ia sudah lama tidak tertawa. Rasanya legah sekali. Bahagia menusuk relung hatinya. Bagaimana jika mereka hidup bersama. Hidupnya pasti bahagia.
Bisahkah ia memiliki mereka berdua.

Rani dan Kanza menyadari suara lain didekat mereka. Rani tersenyum tidak enak. Hiro pasti melihat tingkah nakal puterinya.

"Maaf, dengan sikap kami."
Rani menatap malu pada pria yang pernah dan masih ada di hati. Hanya ia tepis segala perasaan ini. Dirinya begitu tidak pantas pada suami orang.

Hiro tersenyum lebar selama lima tahun ini, senyumnya benar-benar lepas.

"Om ngapain di sini. Sana pulang."

Hate And Love(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang