20

7.7K 470 27
                                    

Dua minggu telah berlalu sejak hilangnya Kanza.
Hiro menginjak paha pria yang masih duduk di lantai dengan tubuh penuh darah. Tidak peduli dengan rintihan sakit yang pria ini keluarkan.
Hiro menunjukkan foto gadis kecil berseragam TK yang tersenyum terpaksa menatap kamera.

"Aku tidak tahu."
Hiro makin menginjak kaki pria yang terluka itu dengan kuat. Teriakkan mengisi seisi geduang tua tak berpenghuni di pinggir kota ini.

"Aku hanya diberi perintah oleh orang asing, tampa tahu wajahnya."

Hiro menendang pria penuh darah itu hingga tersungkur di lantai.

"Ternyata kau memilih mati?"

Hiro meletakkan pistol di kening pria itu, yang terlihat ketakutan. Wajah Hiro mengeras, karena tak kunjung diberi jawaban.
Door

Hiro menatap dingin pria yang tidak lagi bernyawa ini. Dunia bisnis bagi Hiro adalah dunia yang bisa saja menghilangkan nyawa. Banyak yang bersaing dengan kotor. Terutama dengan lawan bisnisnya yang sekarang. Jika pria yang telah mati ini mengatakan yang sebenarnya, berarti Kanza berada di tangan orang yang kuat. Bukan orang sembarangan. Siapa yang berani mengusik kehidupannya? Jika ia tahu Kanza adalah puterinya, maka orang itu pasti sudah mengamatinya selama ini.
Melodi tidak mungkin diculik karena selama ini puterinya selalu diawasi dengan ketat. Hiro memukul tembok di depannya dengan emosi. Seharusnya ia juga berlakukan yang sama dengan Kanza. Seharusnya ia awasi Kanza juga. Hiro melangkah pergi setelah menghabisi pria tadi. Ia akan membunuh dalang dibalik hilangnya Kanza puterinya.
Setelah itu Hiro minum di bar. Wajahnya memerah marah. Ia menghabiskan beberapa botol minuman keras sendirian.
*

Rani masih menatap luar jendela kamarnya. Hans sudah pulang karena tidak ingin ada rumor yang buruk tentangnya. Sedangkan Briona, gadis cantik yang sudah ia anggap adik sendiri itu pergi kerja. Dirinya tidak ingin merepotkan Briona. Gadis sembilan belas tahun itu pasti sangat sibuk. Rani berusaha tegar, berusaha bersikap positif jika puterinya baik-baik saja. Walau hatinya begitu resah, ia takut Kanzanya tidak ditemukan. Rani melangkah ke ruang tamu yang langdung berhadapan dengan halaman rumahnya. Di samping ruang tamu adalah toko kue kecil miliknya yang sudah berapa hari ini tutup. Rani berdiri di depan jendela ruang tamu. Matanya menatap tepat pada samsak yang bergelantungan di luar sana. Hujan di luar sangat deras. Matanya kembali berembun. Kanza tidak pernah meminta banyak. Ia hanya minta samsak dan main sepeda ke tamana. Rani memukul dadanya yang begitu sesak. Hatinya begitu hancur. Kanzanya hilang. Air mata lolos begitu saja dari dua bola matanya. Apakah Tuhan sedang mempermainkan hidupnya? Tidak cukupkah sakit yang selama ini ia terima? Apakah Tuhan benar-benar ingin menghancurkannya?
Rani terisak pelan. Ia berjanji pada Hans untuk tidak menangis dan berpikir positif. Tapi melihat samsak yang bergantung di luar saja ia tidak sanggup. Rani menarik gorden jendela lalu bangkit berdiri, sekuat tenaga ia mengangkat tubuhnya. Lututnya begitu lemas, kepergian Kanza membuat dirinya lemas tak bertenaga.

Ia baru saja akan melangkah pergi, tapi pintu rumahnya digedor dari luar. Dengan sisa tenaganya ia membuka pintu. Rani membelakkan matanya saat melihat Hiro berdiri di depannya dalam keadaan mabuk. Rani segera menutup pintu tapi ditahan. Tenaga Rani yang lemah membuatnya tidak bisa melawan tenaga Hiro. Rani menatap marah Hiro yang menerobos masuk.
Dirinya muak melihat Hiro di sini. Dirinya muak melihat wajah pria yang membuat dirinya menderita.

"Pergi aku bilang."

Rani menatap marah Hiro yang juga menatapnya dengan wajah memerah.
Hiro terkekeh menyeramkan. Matanya menatap tajam Rani yang terlihat tak gentar menatapnya.

"Kenapa megusirku?"

Hiro melangkah mendekat ke arah Rani. Rani mundur perlahan. Walau kakinya akan goyah, tatapannya tetap tajam. Rani menatap waspadah Hiro yang terlihat berbedah.

Hate And Love(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang