Rani melototi Kanza yang hanya tersenyum polos lalu berlari pergi menuju Rega yang masih duduk di bangku taman. Rani menatap pada Hans yang hanya tersenyum. Betapa malunya dirinya. Kanza benar-benar iblis kecil. Pantas saja Rega selalu memanggil Kanza iblis. Puterinya benar-benar menjelma jadi iblis pembuat masalah.
"Jadi Kanza akan punya papa?" Melodi menatap polos Rani.
Rani tekekeh sumbang. Pertanyaan model apa itu. Mana mungkin.
"Itu-"
"Apa kalian akan menikah?"
Rani mengerutkan keningnya bingung dengan tatapan Hiro. Pria di hadapannya ini mendadak bersikap dingin. Nadanya seperti tidak suka. Bukan urusannyakan.
"Bukan urusan mas Hiro saya pikir."
Hiro mengeraskan rahangnya."KANZA, JANGAN GIGIT BAHU AKU."
Teriakan remaja pria itu mengagetkan ketiga orang dewasa yang masih saling menatap dengan pandangan berbeda.
Melodi yang mendengar teriakkan Rega berlari ke arah Kanza yang masih duduk di pangkuan Rega, masi setia menggigit bahu, dan menjambak rambut Rega.
Rani ikut berlarian melerai puterinya yang mendadak menjadi kasar.
"KANZA." Rani berusaha menarik tubuh Kanza dengan kuat.
Setelah terlepas, Rani melototi puterinya. Jujur ia lelah dengan sikap puterinya. Ia berusaha mengubah tingkah puterinya agar lebih lembut. Tapi srmakin ia ingin merubah, semakin Kanza bersikap bandel."Kenapa Kanza jahat sama kak Rega, hah?"
Rani nerusaha menahan amarahnya, agar tidak sampai kelepasan.Kanza menatap malas pada mamanya. Wajahnya kembali cemberut melihat Melodi yang memberi sapu tangan pada Rega. Rasanya ia tidak ingin om Reganya berbagi perhatian. Om Rega temannya.
"Itu karena om Rega nggak mau beliin Kanza ice cream."
Rani mendengkus malas, ia yakin Rega sudah membeli banyak ice cream, tapi Kanza saja yang meminta lebih. Lihat saja bibir Kanza belepotan.
"Nggak usah drama. Minta maaf sama Rega, cepat. Kalau nggak mama jamin sepeda dan samsak kamu mama jual."
Kanza ingin protes tapi melihat tatapan tajam mamanya mendadak nyalinya jadi ciut.
"Om Rega Kanza minta maaf."
Kanza merasa tidak rela jika mamanya benar-benar menjual benda-benda kesayangannya.
"Kak Rega, kata papa kalau ada luka nggak boleh dibiarin. Cepatin obatin, Odi nggak bawa obat."
Rega terkekeh dengan tingkah Melodi. Sangat menggemaskan.
Melihat ia diacuhkan oleh orang-orang di sekitarnya. Kanza memilih melangkah pergi. Ia merasa kesal, om Reganya tidak ingin berteman dengan dirinya lagi. Kata maafnya tidak diterima.
*
Setelah kejadian di taman tadi. Rani terus saja mondar-mandir di depan kamar puterinya. Kanza kembali pendiam. Tidak ingin berbicara satu katapun.
"Za, mama udah masak ayo makan."
Kanza menatap ibunya lalu melangkah menuju meja makan. Rani paham puterinya pasti merasa kecewa karena Rega mengabaikannya. Hati puteri kecilnya sangat sensitif.
Rani terus menatap Kanza yang hanya diam memakan makanannya. Kanza memang susah untuk membuka diri, ia tidak punya teman. Rega satu-satunya teman yang ia miliki, lalu melodi hadir menjadi teman Kanza. Ia tidak menyalahkan Melodi yang kukuh untuk mengambil hati puterinya. Ia hanya tidak suka dengan pemikiran Dian tentang ia yang akan merebut Hiro. Memikirkan Hiro, ia jadi bingung dengan ekspresi tidak sukanya Hiro saat mengatakan Hans akan menjadi papa Kanza.
Hans adalah kakak tingkatnya waktu kuliah. Hans sangat baik, dulu ia bekerja di kafe milik keluarga Hans.
Ia tidak ingin berharap, Hans pernah memberi perhatian-perhatian kecil dulu. Tapi ia tepis pemikirannya tentang Hans yang menyukainya. Apa lagi waktu itu Hans akan bertunangan. Entah kenapa takdir mempertemukan mereka lagi. Setelah kepergian mama Hiro, Hans tiba-tiba datang ingin membeli kue, dan berakhir mereka ngobrol di taman."Za, jangan diam terus. Ajak mama ngobrol dong."
Kanza menatap mamanya yang terlihat banyak pikiran.
"Ma, Aza nggak pengen sekolah besok."
Rani melebarkan matanya.
"Nggak boleh. Sekolah penting buat masa depan Kanza. Kanza pasti punya cita-cita.""Nggak ma."
Rani mendengus malas, dengan jawaban puterinya yang terkesan cuek. Masih kecil saja sudah begini, gimana besarnya?"Itu karena Aza tahunya main. Coba Aza lihat sekitar. Ada guru, bidan, dokter, dan sebagainya. Emang Kanza nggak mau jadi orang hebat?"
Kanza terdiam menatap mamanya sebentar, lalu menatap makanannya.
Ia mengerutkan keningnya mencoba berpikir.Rani yakin puterinya tidak mengerti dengan apa yang ia katakan.
"Besok. Aza tetap sekolah. Tadi Rega datang mo ketemu Kanza kenapa gak turun?"
Wajah Kanza cemberut seketika.
Rani hanya tersenyum menggeleng. Dasar pendendam.Malam semakin larut Rani menatap Kanza yang begitu lelap dalam tidurnya. Puterinya sangat cantik. Walau teman-teman seusianya menjauhi Kanzanya, mengatakan Kanza gadis aneh. Tak apa, baginya Kanza adalah pelita hidupnya. Kanza lebih berharga dari apapun.
'Tidur yang lelap sayang, doa mama Kanza bahagia selalu. Kanza punya mama.'
Rani mengecup kening puterinya dengan sayang. Lalu melangkah keluar dan menutup pintu kamar Kanza.**
Rani baru saja ingin menjemput Kanza, tapi langkahnya berhenti saat pria di hadapannya menghalanginya."Aku ingin berbicara padamu. Tidak akan lama."
Rani melirik jam tangannya. Masih lima belas menit sekolah Kanza dibubarkan.
"Sebenarnya aku ingin mengatakan ini sejak dulu."
Rani mengerutkan keningnya. Kenapa mendadak ia merasa tidak enak.
"Sejak dulu aku mencarimu. Kamu pergi begitu saja. Kamu pergi juga membawa hatiku."
Rani membelakkan matanya. Apa dirinya tidak salah dengar?
"Aku benar-benar menyukaimu sejak dulu. Aku tahu kita baru bertemu kembali kemarin. Tapi aku benar-benar menyukaimu."
Rani masih menatap kosong pria di hadapanya.
"Maaf, tapi kau tahukan, aku sudah punya Kanza?"
"Aku tahu, dan aku sudah tahu semuanya. Aku tidak peduli. Maukah kamu memberi aku kesempatan untuk dekat dengan Kanza? Aku benar-benar serius dan tidak ingin kehilangan lagi."
Mata Rani berkaca-kaca. Hans terlalu baik, ia merasa tidak pantas.
"Ini terlalu mendadak."
"Aku tahu, aku akan menunggu jawaban mu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate And Love(END)
RomanceAku dan segala kenangan di kota metropolitan. Segala pergaulan anak muda. Membawaku pada rumah kecil di kota ini. Dengan pelitaku yang cantik. Buah hatiku yang hadir tanpa sosok ayah. Tentu saja sampai detik ini aku sendiri tidak tahu siapa ayah bay...