Jangan lupa vote dan comment.
jangan lupa nabung gays buat beli buku istri ndeso sang dokter.....
Hiro mengepalkan dua tangannya. Ia marah pada dirinya yang tidak bisa menjaga Kanza. Ia terlalu bajingan.
"Tolong jangan begini, kita cari Kanza sama-sama."
"Bajingan, lepaskan tangan kotormu. Brengsek, kembalikan Kanza, kalian pasti yang mengaturnya. Kembalikan puteriku."
Rani memukul membabi-buta Hiro yang memeluk tubunya.
"Lepaskan aku bajingan. Kalian iblis. Kembalikan puteriku."
Rani berteriak histeris, ia terus mendorong Hiro untuk mengembalikan puterinya.
*
Hiro menatap luar jendelanya hujan di luar begitu lebat. Bagaimana keadaan Kanza? Ia sudah mengerahkan anak buahnya untuk mencari puterinya. Tapi sampai senja pergi Kanza belum ditemukan. Ia akan membenci dirinya sendiri dan akan membenci mamanya sendiri. Sudah cukup selama ini ia mengikuti kemauan mamanya. Apa mamanya pikir dirinya ini boneka, ia menyayangi mamanya begitu besar, apa lagi ia janji pada almarhum papanya untuk tidak membuat mamanya menangis. Sebagai anak tunggal dirinya harus kerja keras untuk perusaan dan membahagiakan mamanya. Tapi semakin ke sini mamanya keterlaluan.
"Hallo." Wajah Hiro mengeras.
"Cari puteriku sampai ketemu."
Hiro menatap hujan diluar kaca apartemennya.
Rani mengerutkan dahinya , matanya perlahan terbuka, ia memegang kepalanya, dua tangannya memijat pelipisnya. Matanya membelak saat mengingat satu nama yang selalu menjadi bagian hidupnya.
"Kanza." Gumannya pelan.
Ia menatap sekeliling, kamar mewah bernuansa gelap. Ini bukan kamarnya. Kilasan memory siang tadi muncul. Matanya membelak lebar. Kanza puterinya.
Ia masih berharap kejadian itu adalah mimpi.
Dengan rasa pusing yang masih mendera kepalanya Rani berlarian keluar.
Rani menghentikan langkahnya saat menatap punggung lebar yang sedang menatap luar dengan dua tangan dimasukan dalam dua sakunya.
"Dimana Kanza?"
Hiro yang mendengar suara Rani langsung membalikkan tubuhnya.
Wajahnya masih sama tampa ekspresi.
"Apa kalian mempermainkan aku?"
Rani masih berharap jika Hiro dan keluarganya yang menyembunyikan puterinya. Seharusnya mereka suda kembalikan puterinya.
Rani menatap tas hijau di atas sofa.
Tubuhnya bergetar, lututnya goya. Tubuhnya lemas.
'Pokoknya Aza tetap nggak mau'
'Ya udah, tinggal pilih sepeda atau-'
'Fine, Aza pakai. Ok jadi jangan ancam lagi.'
Rani memegang ta situ tidak peduli dengan Hiro yang masih setia menatapnya.
Suaranya bergetar menahan tangis, ia memegang tas hijau dengan gantungan boneka beruang bertulis Kanza. Kilat dan guntur bersamaan membuat wajah sedih Rani terpampang nyata. Matanya melebar, hujan di luar sana. Dengan cepat ia berlarian keluar. Ini apartemen, dengan cepat ia masuk lift dan turun. Tidak peduli ditatap aneh oleh beberapa orang yang lewat. Tampa alas kaki Rani berlari keluar. Kanza pasti kedinginan.
"KANZA INI MAMA, KAMU DIMANA?"
Tidak peduli dengan hujan besar, tidak peduli dengan keadaannya yang kacau. Rani menghentikan larinya saat tangannya ditarik kuat.
"Please, jangan kayak gini. Aku udah kerahkan anak buah aku untuk nyari Kanza."
Rani menatap marah Hiro, air matanya terus mengalir bersama dengan hujan.
"Lalu apa kamu pikir aku harus diam saja hu'um?"
Rani menatap kecewa Hiro. Hujan turun begitu deras tidak peduli saat ini tubuhnya kedinginan.
"Apa kamu pikir karena kamu mengaku Kanza adalah anak kamu, kamu berhak ngatur aku?"
Rani dan Hiro masih saling tatap. Hiro masih diam, membiarkan
"Apa kamu tahu Kanza terluka karena kamu? Dimana kamu saat teman-temannya menjauhinya karena tidak punya papa? Dimana kamu saat ia diejek dan dihina?"
Rani menatap begitu kecewa Hiro. Ia begitu terluka. Mereka benar-benar menyakitinya begitu dalam.
"Kembalikan Kanza, aku mohon!" Rasanya begitu putus asa, ia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya ingin mereka kembalaikan Kanza. Ibu mana yang tidak akan segila dirinya. Melahirkan tanpa suami, mempertaruhkan nyawanya, lalu mereka mengambil Kanza darinya.
"Maaf."
Hanya kalimat maaf yang bisa ia ucapkan. Tapi ia benar-benar tidak tahu dimana Kanza. Dibagian perempatan jalan itu tidak ada CCTV, ia sudah memeriksa semuanya.
"Tapi aku janji, aku bakal cari dan bawa kembali Kanza untuk kamu. Maafkan aku."
Hanya kalimat itu yang bisa ia ucapkan. Jika saja mamanya tidak membawa Kanza ke rumah mereka. Jika saja ia tidak mendebati mamanya dan lebih memilih mengantar Kanza pulang, mungkin Kanza tidak akan hilang. Ia tidak pernah berfikir Rani akan mengetahui semuanya seperti ini. Wanita di hadapannya begitu membencinya. Mungkin tidak ada kata maaf baginya.
"Apa dia sudah makan sejak siang?" suara Rani bergetar. Sudah berapa banyak air matanya?
"Aku antar kamu pulang."
Rani masih tetap berdiri dalam diam. Ia menatap langit.
"Kamu pergi saja, aku mau di sini. Aku akan di sini, aku tidak ingin Kanza kehujanan dan kedinginan sendirian."
Hiro terpaku menatap Rani yang memilih membelakanginya. Bahu Rani bergetar hebat. Ia ingin menyentuh bahu Rani tapi tangannya hanya sampai di udara. Rani membencinya sangat membencinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate And Love(END)
RomanceAku dan segala kenangan di kota metropolitan. Segala pergaulan anak muda. Membawaku pada rumah kecil di kota ini. Dengan pelitaku yang cantik. Buah hatiku yang hadir tanpa sosok ayah. Tentu saja sampai detik ini aku sendiri tidak tahu siapa ayah bay...