25

8.1K 493 21
                                    


Thanks banget yang ngasih vote dan komentar cerita ini. Tidak menyangka tapi kalian baik😍
Jadi semangat nulisnya. Lagu-lagu yang dikasih udah aku dengarin😍 Thanks banget. Bagus semua😊
Yang nanti mau kepoin cerita aku selanjutnya cek IG ya😊 @dewhylhoe

Hiro masih menatap Rani yang mematap gorden jendela. Tidak peduli pada teriakkan Dean. Melihat dua tangan Rani yang dirantai. Ia marah pada dirinya sendiri. Ia menyakiti Rani. Tapi ia takut, takut jika Rani meninggalkannya. Apa lagi jika Rani bersama Hans.

"Lo utang semua penjelasan sama gue."

Dean membuang nafas kasar. Meletakkan peralatan medis dan mulai memeriksa wanita bernama Rani ini.

Dean membeku. Tubuh Rani begitu kaku saat ia menyentuh tangannya. Dean menatap Hiro sekilas lalu kembali memeriksa keadaan Rani.
Rani tidak terusik sama sekali, ia seperti hidup tanpa nyawa. Hidup seperti mati.

Setelah beberapa menit memeriksa keadaan Rani. Dean dan Hiro keluar.

"Keadaan dia parah banget. Ditambah lo bilang gak bisa ngomong. Tensinya juga tinggi banget. Lo mau bunuh dia?"

Hiro membuang nafas kasar. Ia menutup mata frustasi. Menenangkan segala pikirannya.

"Gue saranin lo lepasin dia, biarin dia sendiri. Biarin dia bebas dulu."

Hiro langsung membuka matanya.

"Gak bisa. Lo tahu berapa lama gue cari mereka? Gue tersiksa setiap waktu. Gue gak bisa lepasin Rani. Gue baru kehilangan puteri gue. Gue gak tahu lagi gimana hancurnya gue saat Rani pergi."
Hiro membuang nafasnya kasar. Tidak ia begitu takut melepaskan Rani. Ia takut ia aka kehilangan Rani lagi. Jika saja ia dulu tidak menikah. Jika saja Dian tidak membohonginya.

"Pikirin baik-baik. Gue sahabat lo gak mau lo hancur. Lo lihat keadaannya sekarang hancur. Lo bisa bunuh dia kedepannya. Apalagi dia gak mau makan."

Dean menepuk bahu Hiro. Hiro terlihat menatap kosong vas bunga.

"Gue kasih resep obat. Jangan biarin dia makin stres."

Setelah Dean pergi, Hiro kembali menata makanan untuk Rani. Ia mengambil handphonenya dan menelpon seseorang.

*
Briona menatap apartemen besar ini. Dulu juga ia punya kehidupan yang mewah. Tapi semua orang menghianatinya. Papa dan mama. Mereka sama-sama selingkuh, lalu perusahaan bangkrut. Hidupnya juga hancur tak bersisa. Benar kata orang yang jahat itu bukan hewan buas, manusia lebih jahat. Luka di hati yang mereka berikan, tak akan terhapus walau berjalannya waktu sekalipun. Mereka hanya tahu orangtuanya bangkrut tapi tidak dengan kisah hidupnya. Briona menatap pria tampan dihadapannya ini. Waktu benar-benar merubah hidup seseorang. Ternyata papanya Kanza adalah pria ini. Tampan dan kaya. Tapi benar-benar membuatnya kesal. Ia terpaksa datang untuk Rani.
Sudah bebrapa hari Rani tidak ada di rumah.

Brioana melotot dan berteriak histeris melihat keadaan Rani yang begitu kacau. Ia menatap Hiro yang hanya berwajah datar.

"Mbak, mbak gak kenapa-kenapa?"

Brioana mendelik penuh emosi pada Hiro. Pria ini memasang rantai seakan Rani adalah seekor anjing.

"Kenapa kamu merantai mbak Rani seperti ini? Kamu pikir hewan hah?"

Brioana makin kesal melihat Hiro yang tidak peduli, dan melangka menuju nakas.

"Saya suruh kamu ke sini bukan untuk berteriak."

Brioana menatap kesal Hiro yang biasa saja. Ia menerima piring berisi nasi dan lauk pauk. Walau ia begitu kesal dengan sikap Hiro. Rani lebih penting sekarang.

"Mbak, ini aku. Mbak makan dulu ya."

Brioana memegang tangan Rani. Mata Rani tak beralih juga. Ia masih menatap kosong.

"Mbak percayakan, Kanza pasti baik-baik saja."

Mendengar nama Kanza Rani berbalik. Telinganya seperti hanya bekerja saat nama Kanza yang disebut.

Brioana menahan tangisnya. Ia tidak menyangka kebahagian ibu dan anak yang selalu bertengkar harus berakhir tragis. Rani menatap Brioana. Matanya sudah tidak sanggup untuk menangis. Ia hanya diam.

"Sekarang mbak makan ya. Mbak harus bangkit demi Kanza. Sampai sekarang polisi belum menemukan Kanza. Yakin kepada Tuhan Kanza pasti masih hidup. Dia pasti di suatu tempat."

Perlahan air matanya menetes. Wajahnya masih menatap kosong. Briona menyuapi Rani. Walau berat akhirnya Rani membuka mulutnya.

Hiro berbalik pergi. Langkahnya gontai. Ia menatap luar jendela.

'Kanza pasti berada di suatu tempat.'
Matanya berkaca-kaca. Ia pria seharusnya tidak boleh lemah. Tapi kenyataannya ia juga hancur. Ia belum meminta maaf pada Kanza. Belum memeluk puterinya. Selama ini ia memeluk Melodi seakan takut kehilangan. Tapi pada akhirnya waktu menunjukkan kebenarannya. Selama ini ia begitu takut kehilangan darah daging orang lain. Brengsek dan bajingan. Ia bukan papa yang baik. Ia memberi kasih sayang kepada puteri orang lain, di depan puteri kandungnya sendiri.

Hiro meremas gelas lalu membantingnya hingga pecah. Sekarang semua orang menatapnya penuh kebencian.

Hiro menatap sinis panggilan yang masuk di handphonenya.
Ia membenci mamanya begitu dalam. Jika saja mamanya tidak memaksanya menikah dengan Dian. Seandainya ia bisa mengubah semua ini.
Hiro kembali duduk di ruang kerjanya. Tidak peduli tangannya berdarah.

Setelah menutup berkas penting dengan sebelah tangannya yang tak berdarah. Hiro melangkah keluar.

Dari luar, Hiro menatap gadis bernama Brioana yang masih mengajak Rani berbicara. Matanya menatap Rani yang masih terdiam. Lalu melirik piring. Setidaknya Rani mau makan.
Hiro melangkah pergi, membiarkan Rani menenangkan diri bersama Briona.

Untuk melepaskan Rani sekarang. Ia belum siap. Ia takut Rani meninggalkannya. Benar sikap aslinya adalah ia sangat terobsesi. Apa yang seharusnya menjadi miliknya, akan tetap menjadi miliknya. Dean paling mengerti dirinya. Hiro melirik handphonenya.

'Halo.'

Hiro yang mulanya menutup mata, langsung terbuka lebar. Kalimat dari anak buahnya benar-benar di luar dugaan.

"Nyonya besar?" Tanya Hiro lagi memastikan.

Hate And Love(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang