29

7.4K 498 47
                                    

Wkwkwk. Up lagi ya. Semoga gak bosan. Emang jalan ceritanya rada sinetron wkwk🤣 mklum author rada-rada

12 tahun kemudian.

"Maling, maling."
Gadis bertubuh mungil, memakai topi hitam berlarian dengan kuat menelusuri lorong-lorong. Tangan kanannya memegang tas hitam. Kepalanya sesekali menoleh ke arah belakang. Sekelompok orang mengejarnya sambil berteriak maling.  Ia berlari sekuat tenaga. Ia bersembunyi dibalik tumpukkan karung. Menahan nafasnya sebentar, lalu membuang nafasnya. Ia bergidik ngeri melihat orang-orang itu membawa kayu. Gila ia kan cuman mengambil tas ini, kenapa harus bawa benda-benda itu. Ia kembali berlari mengambil arah lain. Tapi tubuhnya kembali ia sembunyikan.

"Siapa orang itu ?"

Dari balik persembunyiannya ia menatap pria muda yang penuh darah di wajahnya, berlutut di hadapan seorang pria yang hanya ia lihat punggung lebarnya. Matanya membelak saat bunyi tembakkan terdengar. Pria yang berlumur darah itu tersungkur jatuh. Mata pria itu menatapnya. Dia sudah tidak bernyawa.

"Jangan bergerak."

Gadis itu bergerak menatap ngeri pistol yang berada tepat di depan wajahnya. Pria tampan berpakaian serba hitam itu menatapnya tajam. Lalu sedetik kemudian ia terpaku.
"Ya elah om, jangan main todong pistol atuh. Di sana penjahatnya."

"Kanza."

"Kanza saha? Aing Eneng."

Eneng menarik nafas panjang lalu membuangnya. Ia bisa bernafas lega ketika pria di hadapannya ini menurunkan senjatanya. Semoga bukan pembunuh. Ia belum mau mati muda. Mana cakep lagi yang nodong pistol.

"Kapten di sini ada mayat."

Eneng yang pelan-pelan melangkah pergi, kerah bajunya ditarik oleh pria yang dipanggil kapten itu.

"Kenapa atuh? Aing gak salah."

Eneng berusaha pergi. Matanya membelak melihat sekumpulan pria berpenampilan biasa, apa mereka anak buah pria tadi. Lalu kemana sekumpulan orang berbaju hitam itu.

"Periksa dia."
Pria yang dipanggil kapten itu memeriksa pria yang tergeletak di tanah.
Eneng melototi para pria yang datang. Apa ia akan diperkosa.

"Hua jangan perkosa aku. Kasihani aku gadis yatim piatu. Hiks."
Eneng berteriak histeris. Ia berusaha menangis. Tapi sialnya ia tidak menangis sama sekali. Wajahnya memerah tapi air mata tidak keluar.

"Jangan berteriak," tegur salah satu pria. Yang ini berwajah sanggar.

"Ini bukan tas dia."

Eneng terkekeh hambar, menatap sekumpulan pria ini. Dan pria yang dipanggil kapten itu ikut berbalik.

"Kamu mencuri?" Ia bangkit berdiri melangkah mendekati Eneng.
Melihat tatapan tajam pria itu, Eneng menelan ludahnya kasar.

"Maaf om, saya nemu di sana. Mungkin dibuang malingnya."

Rega menatap Eneng dengan tatapan sulit di artikan.

"Kamu pikir saya bodoh?"

Eneng tertawa hambar. Kenapa pria di hadapannya ini sulit dikibul.

"Bawa dia ke kantor."

"Wei, wei. Bawa kemana?"

Eneng menatap satu-persatu pria di hadapannya.

"Kantor polisi," jawab pria berkulit gelap yang tadi memeriksa tas yang ia pegang.

"Ya, ya kok ke sana?" Eneng memasang wajah prihatin. Keluar dari sarang buaya masuk ke kandang singa. Seperti itu pepatah yang tepat.

*

"Kamu mengenal pria tadi?"

Eneng yang merasa bosan karena ditanyai banyak oleh polisi-polisi tadi mendesah berat. Ia merasa frustasi untung mereka tidak meyelidiki jika ia maling. Mungkin itu tidak penting.

"Tidak."

"Kamu melihat ia ditembak?"
Eneng mengangguk polos. Ia menatap kapten bernama Rega ini dengan polos.

"Apa saya boleh minta makan?"

Rega terpaku. Tingkah Eneng mengingatkannya pada Kanza. Apa kabar gadis kecilnya yang telah lama hilang. Ia benar-benar kehilangan Kanza. Ia ingat Kanza marah padanya. Hingga gadis kecilnya itu tidak mau berbicara, terpaksa ia pergi keluar negeri. Lalu setahun kemudian ia kembali, mencari Kanza dan membawa hadiah. Yang ia dapati rumah itu telah dihuni orang lain. Dan kata tetangga Kanza telah hilang dan mungkin saja mati.

Kruyuuuk

Eneng meringis saat bunyi suara perutnya begitu besar. Ternyata para pria tadi seorang detektif. Mereka menatapnya tersenyum geli.

"Tentu kamu bisa makan. Tapi katakan apa kamu melihat wajahnya?"

Eneng mendesah berat. Mana ia tahu.

"Tidak," jawabnya jujur.
Tentu saja ia jujur, toh ia hanya melihat bahu lebar pria itu.
Eneng memasang wajah penuh belas kasih.

Wajahnya beebinar saat seorang detektif menyodorkan sebungkus nasi.
Dengan tingkat kelaparan diambang batas, Eneng membuka bungkusan nasi itu.

Asyik makan enak. Kapan lagi. Ia tertawa senang dalam hati.

"Selesai makan kita lanjut interogasi."

"Lah Om, saya gak boleh pulang?"

Rega menatap laptop dan gadis remaja sekitar 17 tahun ini dengan datar.

"Ternyata kamu banyak kasus ya. Pekerjaan kamu maling?"

Eneng mendesah. Rasanya makanan yang enak di mulutnya terasa hambar. Sehambar wajah kapten detektif di hadapannya.

"Mana ada Om. Saya nemu."

Rega menatap menyelidik. Gadis kecil ini mengingatkannya pada Kanza. Tapi kenyataannya ia bukan Kanza.

"Nasi uduk ini gak nikmat lagi gegara om."

........ Bersambung

Hate And Love(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang