Mungkin cerita ini hanya sampai part 40 wkwkw 🤣 thanks banget pada komen kaget 12 tahun ahahh🤣😂 tenang aja nanti semua akan terjawab di part2 selanjutnya.
Rega masih menatap dalam diam gadis bernama Eneng yang begitu menikmati makannya. Umurnya 17 tahun, gadis aneh. Ia banyak bicara beda dengan Kanza yang hanya bicara penting. Gadis ini kadang berlogat sunda. Ia yakin gadis ini bukan Kanza. Tapi kenapa hatinya berkata lain.
'Uuuoookkeem.'
Eneng cengengesan. Ia baru saja bersendawa di depan cowok-cowok ganteng, alias para detektif.
"Maap Om, kekenyangan!"
Rega berdehem menetralkan ekspresi wajahnya. Sedangkan Para detektif lainnya sudah terkekeh dengan tingkah gadis belia yang tidak tahu malu.
"Saya sudah menelpon pemilik tas ini."
"Hah? Apa?!"
Eneng melototkan matanya. Ia menatap sebal Rega yang begitu santai. Ais, ini semua salahnya yang tidak kabur dan malah menonton pembunuhan. Mana duit di dompet itu belum ia ambil lagi."Kenapa kamu kaget?"
"Kagak Om, bagus deh. Biar aing bisa cepat pergi."
Rega yang mengangkat sebelah alisnya kembali menormalkan wajahnya. Gadis ini licik.
"Nama kamu benar-benar Eneng, dan kamu belum punya KTP, saya tidak jamin kalau kamu berbohong pada kami."
Eneng mendesah malas. Perutnya terlalu kenyang. Si kapten ini malah mencurigainya terus-menerus.
"Gak lah Om, aing jujur."
Sebenarnya ia sering masuk-keluar kantor polisi. Di suruh tobat ama pak polisi. Tapi gimana yak, gak bisa."Seharusnya kamu sekolah, bukannya maling."
Rega kembali mengetik.
"Aing gak pernah sekolah."
Rega berhenti mengetik. Ia menatap gadis remaja ini. Ia benar-benar makin penasaran.
"Tapi kamu pintar berbicara."
Eneng mengangkat bahunya bodoh amat. Ia harus segera pergi dari sini.
.......
Suasana seketika berubah menjadi riuh. Sekumpulan anak remaja pria penuh memar masuk ke kantor polisi. Eneng menatap satu-persatu. Ini anak SMP ngapain pada tawuran. Wah bibit-bibit perusuh nih. Hanya ada beberapa anak SMP. Selebihnya anak SMA. Eneng menatap cowok SMP di sebelahnya yang tampak lebih kacau.
Gila nih bocah kasian amat. Mana wajahnya biasa aja.
Sejenak mereka bersitatap dalam waktu yang lama."Siapa nama kamu?"
Cowok remaja dengan wajah penuh lebam itu menatap datar pak polisi."Akio Tanaka."
Buset ini anak namanya kayak orang jepang. Dilihat lebih teliti emang wajahnya kayak orang jepang. Duh kasian ganteng tapi wajah udah penuh lebam.
"Umur?"
"13 tahun."
Eneng merasa bosan sampai kapan Rega menahannya di sini. sekian lama anak-anak ini diinterogasi ia juga masih tetap bersama.
"Akio."
Panggilan suara berat tapi penuh penekanan itu membuat Eneng juga ikut berbalik. Matanya menatap pria paru baya yang masih tampan diusianya, menatap remaja bernama Akio itu tajam. Pasti bapaknya.
Eneng ingin membalikkan wajahnya. Tapi sedetik berikutnya mata keduanya bertemu.
'Aza benci om ini.'
Eneng memegang kepalanya yang terasa sakit. Sekelebat bayangan masuk dalam kepalanya.
"Aaaw." Eneng memegang kepalanya, ia menarik rambutnya. Tubuhnya terjatuh hingga ia tak sadarkan diri.
*
Perlahan Eneng membuka matanya. Sinar cahaya yang masuk dari celah gorden begitu silau. Gadis cantik itu melenguh risih. Tidurnya terganggu.
"Kamu sudah sadar?"
Eneng membalikkan tubuhnya. Ia menatap detektif muda yang tadi menangkapnya. Semua ini karena pria ini.
"Om saya pen pulang."
"Hum."
Eneng memanyunkan bibirnya. Rasanya kesal mendengar kalimat pendek detektif ini. Tampan si iya. Belagunya itu loh.
"Saya bebaskan kamu. Dengan syarat kamu tidak boleh maling lagi. Kamu cewek tahu gak."
Eneng mencibir malas. Emangnya ini detektif mau beri ia makan apa? Ia harus mencari sesuap nasi dengan susah payah.
....
Eneng menghentikan langkahnya saat matanya bersitatap dengan remaja SMP yang ikut tawuran dengan anak SMA, gak tahu kenapa mereka suka tawuran? Gak kasihan sama wajah-wajah mereka yang tampan jadi bonyok. Duh, mikiran nasib sendiri dulu. Eneng mendesah berat, kenapa ia harus memikirkan orang lain, sedangkan dirinya sendiri tidak jelas. Untung saja ia segera pingsan tak sadarkan diri. Kalau tidak pasti ketemu ibu-ibu yang tasnya ia jambret. Kan bisa berabe. Bisa di dalam sel tahanan.
"Ini punya kamu?"
Eneng menatap gelang yang disodorkan Akio. Dengan cepat ia mengambil gelang itu.
Gelang pemberian abah.Tanpa mengucapkan terimakasih Eneng melangkah pergi.
Eneng menoleh ke samping. Cowok masih dengan seragam SMP itu mengikutiNya. Jangan bilang nih bocah suka sama diriNya.
"Aku suka cewek gak suka cowok," ujar Eneng asal. Gak benar atuh, ia masih suka cowok ganteng. Ya, cuman gitu mana ada cowok ganteng yang mau sama diriNya. Ibarat pungguk merindukan bulan.
"Saya mau pulang."
Eneng menoleh sebentar lalu berdehem. Duh malunya ke ubun-ubun. Untung ini bocah SMP, kalau tadi Om Kapten itu gimana atuh? Bisa loncat dari atap rumah sakit ini.
"Tuan muda."
Eneng ikut berhenti saat Akio berhenti. Gila nih bocah orang sugih, Eneng menggeleng pelan. Gak tahu bersyukur nih bocah, wajahNya belagu banget, mana dipanggil tuan muda lagi. Kayak gini aja masih ikut tawuran, hidupNya gak asik banget.
Eneng kembali melangkah. Untung perutNya telah terisi penuh. Tapi, ah uang itu sudahlah. Lupakan dari pada dipenjara. Coba saja ia tidak melihat pembunuhan itu. Setelah kematian AbahNya saat ia usia sepuluh tahun, akhirNya ia hidup lontang-lantung gak jelas. AbahNya meninggalkan rumah kecil di antara gang-gang sana. Tapi ia harus kabur setiap hari karena AbahNya meninggalkan utang yang banyak. Makanya hidupNya gak jelas kayak gini. Eneng berbalik menatap bocah itu, seharusnya cowok itu bangga. Bangga punya hidup mewah, bangga punya keluarga. Gak kayak dirinya, Abahnya cuman ninggalin rumah yang ia tempati dengan listrik dimatikan. Biar preman-preman itu tahu ia tidak di rumah, dan harta terakhir gelang ini.
Eneng memasukkan geleng itu ke saku bajuNya. Ia melangkah pergi.
Kadang ia iri pada anak-anak yang disuapi orangtuaNya. Anak-anak yang tersenyum bersama keluargaNya. Mereka hidup bahagia. Mereka tidak perlu takut seperti dirinya, mereka tidak perlu pikir dapat makan atau tidak hari ini.☺☺☺ Komen dan Votenya
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate And Love(END)
RomanceAku dan segala kenangan di kota metropolitan. Segala pergaulan anak muda. Membawaku pada rumah kecil di kota ini. Dengan pelitaku yang cantik. Buah hatiku yang hadir tanpa sosok ayah. Tentu saja sampai detik ini aku sendiri tidak tahu siapa ayah bay...