Dengan Kata Bismillah-1

2.1K 34 2
                                    

Ketika kata Sah yang berkumandang diantara para tamu, ku tahu kini aku bahagia. 5 tahun kata sah dan janji akad yang ia ucapkan masih ku ingat hingga hari ini.

Namaku Sari Rengganis.

"Namamu cantik, secantik dirimu."

Wanita mana yang tak akan merona mendengar kalimat penuh manis itu dari seorang pria, apa lagi pria yang sangat dicintai.

"Sari hari ini aku pulang terlambat, pekerjaanku menumpuk." Aku yang masih bernostalgia dengan pernikahan tempo dulu, mematikan air keran air cuci piring. Mengeringkan tangan lalu menghampiri suamiku yang sedang memperbaiiki dasinya, sambil menemuiku. Semakin tampan.

"Ya, mas semangat. Jangan lupa makan, dan sholat nanti."

Sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga hanya kalimat itu yang bisa ku ucapkan. Mas Setya namanya. Suami yang sangat ku cintai sejak dulu. Aku berpacaran dengan dirinya sejak masuk sekolah menengah atas. Kisah-kisah SMA ku hanya berputar padanya.

Dia adalah cinta pertama dan terakhirku.
Aku mencium tangannya, ku harap kebahagian kami terus berlanjut, walau belum hadir momongan diantara kami.

"Jaga kesehatan jangan sampai sakit. Aku mencintaimu."

Aku tersenyum lebar. Ah, kata-kata yang selalu aku dengar dan tak akan pernah bosan.

"Hati-hati mas."

Aku menatap kepergiannya dengan senyum yang merekah. Lalu senyum itu perlahan menghilang digantikan air mata. Aku dan mas Setya sudah periksa ke dokter kami baik-baik saja mungkin belum diberi Allah.

Aku menghapus air mataku cepat. Aku selalu berpikir positif akan ada waktu yang indah untuk pernikahan kami. Suamiku tak berubah, tapi aku takut hatinya berubah.

"Lanjuti pekerjaanmu. Kenapa puteraku harus menikah dengan perempuan mandul sepertimu."

Aku memegang ujung bajuku. Mencoba sabar dengan sikap mertuaku. Sedari dulu dia tidak pernah menyukaiku. Seperti hama aku di matanya. Ditambah aku belum hamil-hamil Mertua ku sangat membenciku.

"Relakan suamimu punya istri lain. Dia harus punya keturunan."

Aku benar-benar terguncang dengan setiap kalimat yang mertuaku keluarkan.

"Ma, berapa kali aku bilang. Aku gak mandul."

Aku bukan wanita yang senang dikata-katai. Aku beenci setiap kali mendengar kalimat mandul. Mama mertuaku memang selalu tidak sabaran. Untung mas Setya selalu nenangin hatiku yang gulana.

"Ala, gak mandul gimana? Buktinya sampai sekarang belum punya anak juga." Mertuaku menatapku tak suka lalu melangkah pergi. Lima tahun hidup di rumah ini bagai neraka kedua.

Bagaimana lagi caranya menjelaskan kepada mertuaku ini. Takdirku memang tak sebahagia perempuan di luar sana. Betapa beruntungnya mereka yang langsung hamil tanpa menunggu bertahun-tahun seperti aku.

Aku tidak siap jika berbagi suami dengan perempuan lain. Bahkan memikirkannya saja aku tak sanggup. Jika itu terjadi aku memilih mati. Aku hanya ingin punya suami yang setia.

Aku tak sanggup jika Setya berbagi hati. Tidak. Aku menggeleng kuat. Memikirkannya saja memnbuatku gila. Apa lagi jika kenyataan. Bisa mati aku.

Seandainya mertuaku tahu, jika aku bukan pencipta. Yang bisa ku lakukan adalah meminta pada Tuhan setiap kali aku bersujud dalam doaku. Setiap perempuan yang bersuami pasti ingin memiliki anak.

**
Aku yang masih menjemur pakaian suamiku membelakkan mata, saat bocah berusia satu tahun itu merangkak menuju kolam renang.

Aku membuang ember berisi sisa baju, lalu berlari mengangkat Tiago. Putera pertama adik suamiku. Suamiku punya adik laki-laki yang hanya berpaut dua tahun dengannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hate And Love(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang