Chapter 1 - Aku dan Sahabat

185 33 0
                                    

Aku bosan.

Di meja makan yang kosong, tak ada siapapun yang menemaniku. Sudah berulang kali seperti ini. Tiada keceriaan, tiada sukacita, tiada kehangatan yang terpancar di tempat ini.

"Ah. Maaf, bibi datang terlambat malam ini."

Aku memalingkan muka ke belakang sejenak, menjumpai seorang wanita paruh baya yang familiar, lalu beralih ke depan dengan ekspresi muram.

Bibi sempat menyuruh aku menunggu di ruang makan sejak dua jam lalu. Dan waktu selama itu hanya untuk mendapatkan dua kotak makanan ukuran kecil yang akhir-akhir ini ramai dijual di pertokoan yang sebenarnya tak jauh dari rumah ini.

"Beli ayam goreng di tempat berjarak lima puluh meter dari rumah. Tapi kenapa baru sampai jam sembilan malam?" kataku mengeluh.

"Maaf. Tadi yang antre di sana banyak sekali. Selain itu bibi harus pergi bayar listrik dan air, termasuk bayar utang yang belum lunas sejak setahun lalu," jawab bibi.

"Apa? Setahun?" Aku terkejut. "Jadi benar kalau begitu? Bibi mau menyusul paman yang tidak pulang-pulang kesini?"

"Begini, nak Sarah," Bibi sedikit gelisah. "Sudah bertahun-tahun ibumu tidak pulang. Paman kamu sudah mencarinya tetapi... tidak ada kabar. Bibi cuma ingin menjemput paman kamu. Itu saja."

"Tapi aku tidak mau bibi pergi!" Aku langsung berdiri dan menghadap bibi. "Kalau semua orang di rumah ini sudah tidak, siapa yang jaga aku sendirian?"

"Kamu ini sekarang sudah lulus SMA, Sarah. Bukankah kamu sejak lama ingin coba tinggal sendiri tanpa dijaga siapa-siapa?"

Aku mendadak bungkam. Aku sadar bahwa diriku masih tergolong remaja, masih gemar mengeluh akan rentetan ujian akhir yang semakin gila, dan tentunya masih awam akan hal mengurus rumah seorang diri.

"Kamu masih ingat janji kamu yang dulu, kan?" sambungnya. "Besar nanti kamu ingin pergi sendirian, mencari ayahmu yang tak pulang-pulang sampai sekarang."

"Jangan sebut kata 'ayah' lagi!" jeritku seketika. "Aku tak mau tau lagi. Ayah pasti sudah tidak peduli sama kita disini!"

"Dan sebelum kamu bisa pergi sendirian, minimal cobalah untuk tinggal di rumah ini sendirian juga." Namun bibi masih tidak peka. "Jangan kalah sama bibimu ini, sudah ditinggal pamanmu sendirian, tetapi masih bisa jaga kamu dan seisi rumah ini."

"Terus aku ini gimana? Memang aku siapa di mata bibi?"

"Tapi tidak lama lagi bibi akan pergi juga." Lagi-lagi bibi tidak mendengarkan. "Kamu... mau tidak mau, juga akan seperti ini. Sebelum itu terjadi—,"

"SUDAH HENTIKAN!" teriakku kencang seraya menjauh dari hadapan bibi. "Siapapun yang sudah pergi dan tak pulang lebih dari tiga tahun, aku anggap mereka orang asing.  Apa mau aku melupakan bibi seperti mereka bertiga?"

Ayahku sudah pergi ketika aku kelas tiga SD. Lalu ibu pergi sebelum aku masuk SMP, hanya untuk mencari ayah. Hingga paman pun menyusul mencari ayah dan ibu sekaligus sebelum aku masuk SMA. Dan sekarang, bibi pula mau pergi sebelum aku masuk kuliah?

Situasi mendadak tegang. Malam tenang berubah kacau. Tidak ada siapapun yang betah menghadapinya.

 Tidak ada siapapun yang betah menghadapinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang