Chapter 31 - Belajar Hal Baru

29 9 0
                                    

Kegiatan sekolah dadakan dimulai. Hampir setiap hari warga desa belajar membaca, menulis, berhitung, juga menggambar. Semua kertas dan alat tulis yang dipakai dalam belajar diambil dari gudang di balai desa, termasuk barang dari saudagar yang tertinggal di desa. Dua papan hitam dan beberapa kotak berisi kapur tulis turut digunakan. Meskipun pelajaran hanya berlangsung hingga tengah hari, tetapi ada beberapa warga desa yang sibuk melanjutkan belajar sendiri.

Aku dan Nanny lebih banyak mengurus kelompok anak-anak. Jumlahnya hanya dua puluh, tidak begitu banyak padahal dalam satu kampung ada hampir tembus dua ratus—kata kakek Borhan. Sebelum memulai materi, Nanny bertanya kepada sejumlah anak-anak di kelas kami. Mereka menyebut bahwa banyak anak lain yang tak ikut belajar karena dianggap tidak penting dan membosankan. Aku heran, bagaimana mereka tahu bahwa belajar itu membosankan? Apakah mereka pernah bersekolah sebelumnya? Terkadang aku akui bahwa masuk sekolah itu ada kalanya membosankan.

"Sarah, kamu sudah baca buku yang aku kasih tadi malam? Kita akan ajarkan itu pada mereka," bisik Nanny sembari memberi sejumlah pengumuman pada anak-anak.

Aku mengangguk saja. Memang apa yang harus aku tekuni dari bacaan yang disuruhnya waktu itu.

A B C D E F ... huruf abjad. Iya mengenal huruf abjad.

Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana kehidupan orang masa lalu—tepatnya era sebelum Indonesia merdeka—saat belajar. Apakah mereka hanya diajarkan ilmu menurut agama atau kepercayaan masing-masing? Atau mereka hanya diajarkan hal yang berhubungan dengan mata pencaharian suatu tempat, misal bertani, memancing, atau berburu?

"Sarah, jangan banyak diam! Kemari."

Nanny sudah menegur. Ayo Sarah, hadapi mereka dengan tenang!

oooooo

"Masih ada lagi kertas yang tak dipakai? Atau sampah kertas?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Masih ada lagi kertas yang tak dipakai? Atau sampah kertas?"

"Sudah tidak ada lagi, Sarah," lapor Hartono padaku.

Mengangguk, aku dan Nanny segera menyelesaikan kertas yang dipisahkan sesuai warna. Hari ini aku bersama geng pimpinan kampung mencoba daur ulang kertas sesuai petunjuk di salah satu buku yang dimiliki oleh Nanny. Kertas-kertas yang dipisahkan tadi selanjutnya dilebur sampai menjadi bubur.

"Apa bahan campuran yang aku butuhkan sudah datang?" tanyaku memastikan.

Semua orang disini menggeleng. Entah siapa yang aku suruh tadi. Aku harap bahan yang aku butuhkan benar-benar ada.

"Ah, Heri sudah datang rupanya." Suryani terdengar mengucap sambil memasak air panas.

Aku dan Nanny yang sibuk merobek kertas didatangi seorang lelaki yang membawa bungkus berbahan daun.

"Ini yang kamu minta. Tapi kalau itu bukan tepung kanji aku akan keluar lagi mencarinya," kata lelaki itu.

"Aku periksa dulu ya, Charlie." Nanny langsung sigap mengambil bungkusan itu dan membukanya. Ia pun memeriksa tekstur dari tepung itu. Butuh waktu beberapa saat sampai entah apa yang ia lakukan. "Ini memang tepung kanji. Terima kasih Charlie."

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang