Chapter 38 - Kapsul Waktu #2

29 10 3
                                    

Paginya, kami para geng pimpinan kampung melakukan perjalanan ke puncak bukit dengan membawa banyak sekali barang. Kelihatan bahwa kami seperti sedang kabur dari rumah namun dengan berjalan kaki. Andai saja ada alat bantu untuk mempercepat perjalanan.

Nanny dan Suryani masing-masing membawa karung berisi barang entah apa isinya. Hartono bersama Charlie mengangkat peti besar yang ditopang dengan dua bambu besar—jadi terlihat seperti membawa keranda. Aku sendiri membawa tas milik Charlie karena isinya jauh lebih besar. Tetapi kakek Borhan?

"Sejak kapan rumputnya tumbuh besar sampai menutup sepanjang jalan? Harusnya aku suruh kalian untuk membersihkan jalan ini," ucapnya memimpin jalan dengan tangan kosong. Iya, kakek itu tidak membawa apa-apa.

"Mengapa kita tidak buka taman bermain di puncak, sekalian membersihkan jalan ini biar bisa dilewati banyak orang?" sahutku.

"Jangan, Nani tidak suka tempat itu diketahui banyak orang."

Aku melirik Nanny. "Kamu melarang orang-orang kesana?"

Nanny menghindari tatapan dariku. "Aku harap jangan ajak orang lain ke tempat itu."

"Agak disayangkan kalau warga tidak bisa melihat pemandangan indah di puncak."

"Jangan khawatirkan warga kita, Sarah," timpal Suryani. "Mereka punya cara sendiri untuk bersantai, seperti makan bersama setelah menggarap sawah, memancing, atau bermain di halaman. Lagi pula di puncak itu tidak aman untuk anak-anak. Banyak ular disana, bahkan sempat didatangi harimau dan babi hutan."

Aku jadi teringat ketika pertama kali berada di puncak itu.

Hartono terdengar tertawa. "Aku ingat bagaimana pertama kali bertemu kau, Sarah. Harimau besar hampir saja memakanmu."

Aku terkejut ketika peti besar yang dibawanya sempat goyang setelah ucapan itu. Kemudian Charlie—yang juga membawa barang itu—menatap diriku tak terduga. "Kamu hampir dimangsa harimau Jawa?"

Aku mengangguk ragu-ragu. Jadi itu hewan yang sebenarnya punah di masaku tetapi tidak disini. "Tapi aku dan Nanny selamat berkat bantuan mas Hartono."

"Heri, hati-hati bawa petinya. Jangan sampai jatuh!" Hartono pun menyela.

"Maafkan aku." Dan akhirnya Charlie kembali ke hadapan semula.

oooooo

Singkat saja karena tidak ingin lama-lama, kami semua sudah sampai di puncak tertinggi di kampung Bandaru. Saat ini masih siang jadi kami menikmati piknik terlebih dahulu. Meskipun sudah berbulan-bulan aku berada di kampung Bandaru, tetap saja aku tidak terbiasa dengan selera makanan disana. Semua makanan yang dibawa ke tempat puncak ini adalah olahan rebus, mulai dari sayur santan, tempe rebus, singkong rebus, hingga sayur sop. Tentu saja ada nasi sebagai makanan pokok. Aku kangen sekali olahan makanan yang dimasak dalam minyak sawit panas. Entah apakah di zaman ini sudah ada minyak goreng atau tidak.

 Entah apakah di zaman ini sudah ada minyak goreng atau tidak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang