Chapter 16 - Kacau Lagi

28 13 0
                                    

Berkali-kali suara petir menggelegar. Tak luput kilat cahaya putih muncul sekejap mata dan silih berganti. Satu-satunya penerangan tradisional berbahan bakar minyak tidak cukup untuk melawan cahaya kilat. Namun yang bisa aku lakukan hanyalah diam di dalam kamar tamu—kamarku.

Sebenarnya aku sangat ketakutan, tidak menyangka akan terjadi hujan badai seburuk ini. Di rumah dulu walaupun hujan petir tetapi tidak separah yang terjadi sekarang ini.

Haruskah aku mencari pertolongan? Aku tidak mau menghadapi situasi ini seorang diri. Ketika mencoba keluar kamar, dan berjalan ke depan pintu kamar yang aku tutup sebelumnya, tepat saat di depan pintu—

"AAAAAHHHH!!"

Aku menjerit singkat. Bukan karena suara petir yang kencang, melainkan pintu itu terbuka secara mendadak.

"Maafkan aku Sarah, kamu tidak apa-apa? Wajahmu kelihatan pucat?" Charlie yang sudah berada di depan pintu buru-buru mendekati aku.

Aku mulai mendesah lega. Aku pikir ada sosok jahat menyerang diriku. Aku hanya geleng kepala dan tersenyum.

Charlie melihat sekeliling. "Tidak biasanya hujan badai seburuk ini. Kamu baik-baik saja, bukan? Kalau kamu takut, aku bisa temani kamu di kamarmu."

Aku masih menggelengkan kepalanya. Jujur dia benar, aku memang ketakutan. Namun aku pun tidak ingin lelaki itu menemani diriku di dalam kamar.

Bukankah tadi aku ingin cari pertolongan? Bagaimana sih?

Tiba-tiba terdengar sebuah kilat terang kembali muncul, bersamaan gemuruh petir yang begitu keras.

"AAAAHH...!" Aku kembali menjerit ketakutan dan menutup telinga. Iya jelas, siapa lagi yang takut karena khawatir akan disambar petir?

Benar juga, kalau aku tutup telinga sekuat ini maka suara petir yang keras tidak begitu kuat di pendengaran. Namun ada suara lain yang mengiringi.

Dugeun... dugeun... dugeun...

Entah bagaimana aku justru merasa nyaman, begitu hangat dan menenangkan. Aku merasa seperti sedang dipeluk. Jujur kalau yang satu ini, aku baru merasakannya seumur hidupku.

Perlahan suara petir itu pun menghilang. Namun suara detak jantung menjadi lebih jelas.

Saat itu juga aku sadar telah melakukan sesuatu terhadap Charlie di hadapanku.

"Oh, tidak. Ma... maafkan aku. Maaf!" ucap aku segera melepas diri dan memalingkan muka. Astaga, aku benar-benar malu pada lelaki itu.

Butuh waktu lebih sebelum akhirnya Charlie memberi respon. "Begini saja, malam ini aku akan tidur di kamar ini. Kamu tidak akan ketakutan seperti tadi."

Suara petir kembali terdengar, tidak separah tadi. Aku pasrah, sudah tidak bisa berkata apapun juga. Dan akhirnya aku menurut perkataan Charlie. Ia lebih dulu menyuruhku berbaring di kasur sebelum dia menyusul duduk di sampingku. Aku kira tempat tidur ini cukup untuk dua orang. Lalu dia menutupi tubuhku dengan selimut satu-satunya di kamar ini.

"Tidurlah yang nyenyak. Kalau perlu sesuatu, bangunkan aku," ucapnya. Dia hanya bersandar lalu memejamkan mata.

Aku pun juga harus tidur sekarang. Meskipun badai masih tak kunjung reda.

oooooo

Langit masih tampak mendung pada pagi hari. Tetapi tidak menutup kemungkinan aku akan kembali ditinggal sendirian.

 Tetapi tidak menutup kemungkinan aku akan kembali ditinggal sendirian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang