Chapter 18 - Sadar Diri

32 13 1
                                    

Sudah cukup lama kami menghabiskan bincang-bincang santai di depan teras rumah kakek Borhan.

Um... tidak semua dari kami. Hanya Suryani dan Hartono yang masih antusias melakukan wawancara dengan Charlie. Adapun Nanny yang juga ikut menyimak meskipun tidak banyak bertanya. Sementara kakek Borhan sibuk membaca laporan mingguan kampungnya yang tak aku pahami.

Sedangkan aku? Ah, tidak lebih dari sekadar menatap secangkir teh milikku sendiri yang masih utuh, sambil mengelus-elus mulut cangkir dengan jari telunjuk.

Namun aku tetap tidak bisa menghindar dari percakapan mereka.

"Kau sudah pergi ke berbagai tempat. Pastinya juga sudah ketemu banyak orang. Mungkin... adakah seorang perempuan yang terlintas di pikiran kau? Ya, barangkali perempuan yang kau suka?" tanya Hartono dengan sedikit jenaka.

Charlie masih meminum teh miliknya, kemudian terdiam beberapa saat.

"Ton... ton," Suryani menyebut nama panggilan Hartono sambil bernada, "Orang seperti Heri tidak mungkin menyempatkan waktu buat berduaan. Dia hanya mampir dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu beberapa hari bahkan seminggu."

"Nah, kalau misalnya dia ketemu gadis di satu tempat, mungkin orang itu diajak juga bersamanya. Perjalanan keliling banyak tempat sambil berduaan."

Aku berusaha menahan tawa sedikit, mungkin karena mencoba tidak tertarik dengan selera humor mereka meskipun sebenarnya aku memang terhibur.

"Hmm.. selama ini aku tidak begitu memikirkan soal itu. Banyak gadis yang mencoba dekat padaku. Tapi kurasa...," ia jeda kalimatnya sejenak seraya meletakkan cangkir di meja, lalu tersenyum. "Saat ini aku merasakan hal yang berbeda saat bertemu seorang gadis. Orang itu... tak jauh dari sini."

Kebiasaan, entah orang zaman sekarang atau zaman dahulu kalau dengar seseorang naksir lawan jenisnya pasti berteriak...

"Cieeee... nah orang manakah? Katanya tak jauh dari sini," sahut Hartono. "Atau dusun sebelah? Atau kota sebelah dekat sini juga—eh, apa ada kota lain ya?"

"Wis iki mulai ngawur deh. Ah, Heri," Suryani menanyakan Charlie, "sebelum ke sini di tempat terakhir kali kamu singgah, ada kenang-kenangan yang ingin kamu ingat terus?"

Mengapa tiba-tiba dia bertanya tentang kenangan?

"Hmm... waktu sebelum kesini? Tapi seringkali aku hanya singgah di satu kampung dalam waktu tidak lama. Tidak ada yang terlalu menarik," jawabnya sedikit berpikir.

"Nah, kalau begitu aku tahu jawaban dari gadis yang dimaksud Heri...." Suryani membungkuk mendekati Charlie, lalu berbisik, "Sarah kita ini, 'kan?"

Gleduk... minuman teh milikku baru saja tumpah karena cangkir milikku terguling—beruntung tidak sampai jatuh dari meja.

Nanny dengan sigap membersihkan airnya. "Ah, Sarah. Kamu tidak apa-apa 'kan?"

Sial sekali. Kalimat dari Suryani barusan langsung membangunkan kesadaranku. Dan aku tidak menduga bahwa Charlie ternyata mulai berhadapan dengan urusan "cinta".

"Halo, sudah sadar dimana kamu terbang sekarang?" Apa lagi kakek Borhan bertanya begitu. "Tadi sudah tahu tanggalnya bukan? Sebaiknya kamu segera pulang ke tempat asalmu!"

"Eh, Tuan kenapa tiba-tiba bilang begitu?" tanya Suryani bingung.

"Dia itu sebenarnya gadis tersesat. Bukankah dia harus pulang ke rumah asalnya karena pergi terlalu lama?"

Aku lantas berdiri. "TIDAK! Aku tidak mau pulang. Beri aku waktu lagi!"

Dan tanpa sengaja mataku melihat Charlie yang juga sedang menatap diriku. Oh tidak, suasana hatiku langsung bergejolak! Memalukan!

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang