Chapter 22 - Perang Kampung

31 11 0
                                    

Apapun yang aku putuskan, serangan musuh tetap tidak bisa dihindarkan.

Namun aku yakin, ide yang aku ucapkan berjam-jam lalu tetap dijalankan oleh pasukan kami. Aku harap hasilnya tidak mengecewakan.

Sudah mulai sore, penyerangan sudah mulai mereda. Beberapa orang terluka, kebanyakan pria atau bapak-bapak. Saat ini aku membantu Nanny mengurus mereka semua. Mau tidak mau aku harus menghadapi orang-orang tersebut, baik karena disayat atau ditusuk pedang, bagian tubuh memar, maupun patah tulang. Yang mengerikan, aku dihadapkan dengan dua orang dari pasukan kami yang dinyatakan gugur akibat penyerangan ini. Ini menyedihkan, aku sempat tidak sanggup melihat kenyataan ini. Namun sisi baiknya, tidak ada korban jiwa tambahan sampai sekarang—dan semoga saja tidak ada.

Itu karena satu ide pertama yang aku sebutkan pada kakek Borhan tadi pagi. Aku ingin mengurangi anggota pasukan, terutama yang laki-laki. Iya aku tahu para lelaki selayaknya garda terdepan pasukan dan paling diandalkan dalam urusan perang. Namun bukan berarti aku melarang mereka untuk perang kali ini, melainkan aku meminta setengah dari total pasukan mereka untuk membuat kelompok khusus. Aku sampaikan semacam ide kasar dari strategi itu kepada kakek Borhan sebelumnya. Dan entah bagaimana dia langsung bergerak dan mendiskusikan ide dariku kepada pasukannya. Ya semoga saja strategi dadakan itu berjalan lancar.

Beberapa lama kemudian, aku dan tim penyembuh kedatangan belasan orang terluka lagi, dan lima diantaranya adalah orang bawah umur aku sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa lama kemudian, aku dan tim penyembuh kedatangan belasan orang terluka lagi, dan lima diantaranya adalah orang bawah umur aku sendiri. Aku merasa sedih melihat mereka harus ikut berjuang di lapangan berdarah. Namun saat ini, aku bersiap mengobati salah satu laki-laki paruh baya yang terlihat memiliki luka yang agak parah di perutnya. Ah, mengapa aku harus berurusan dengan orang seperti ini? Bedanya, orang yang sedang kami urus ini ditempatkan terpisah dari orang lain yang sama-sama terluka.

Beruntung aku tidak sendiri, dua orang ibu-ibu juga hadir membantu dalam pertolongan pertama orang ini. Karena aku tidak begitu mahir melakukan itu, maka sejauh ini aku hanya bisa memberi alat atau bahan penutup luka kepada mereka.

"Kamu... siapa...?"

Aku terdiam, entah siapa yang bertanya begitu. Aku tatap seorang bapak yang terluka di hadapanku, lalu menoleh pada kedua ibu yang membantuku—ternyata sibuk mengurus sebuah luka tusuk, dan akhirnya kembali menatap bapak itu. Oh, ternyata bapak itu menatap diriku balik.

"Aku bisa tebak kalau kamu...," Suaranya serak, tentu saja menahan sakit, "bukan orang sini?"

Aku mengangguk perlahan. "Iya."

"Bagaimana kamu... bisa datang ke kampung ini?"

"Diajak... teman," jawabku.

"Siapa temanmu disini?"

Dia bahkan bisa bicara dengan bahasa baku sepertiku.

"Hmm... Nanny."

Bapak itu mendadak menghirup napas kuat-kuat. "Nani? Bayi malang itu? Dia masih hidup?"

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang