Chapter 37 - Kapsul Waktu #1

31 9 0
                                    

Esoknya ide "kapsul waktu" disampaikan dalam pertemuan harian "geng" pimpinan kampung. Semuanya langsung setuju, memang dikarenakan kami semua ingin menyimpan beberapa barang sebagai kenangan maupun bukti bahwa kampung ini ada dan berharga dengan begitu orang-orang dari generasi berikutnya bisa melihatnya. Hartono sempat menyarankan agar barang milik semua warga juga dimasukkan dalam kapsul waktu. Namun itu jelas tidak mungkin karena tidak muat jika barang-barang itu dimasukkan di satu wadah—mau taruh dimana nanti? Jadi aku sarankan dia untuk membolehkan ambil barang milik warga lain namun hanya barang tertentu, atau barang antik, atau bahkan edisi terbatas yang sekiranya berharga bagi satu warga kampung Bandaru.

Setelah itu, kami mulai mencari barang-barang yang cocok menjadi "harta karun" generasi penerus kampung ini. Aku masih tidak punya ide barang milikku yang mana lagi selain buku harian yang layak masuk kedalam kapsul waktu.

Mumpung balai desa sedang sepi—karena yang lain keluar mencari barang masing-masing—aku diam-diam masuk ke dalam ruang rahasia di tempat ini. Ah, ini sudah kedua kalinya berarti. Sampai sekarang aku tidak tahu ruang apa sebenarnya di tempat yang sulit diketahui siapapun.

Kalau sebelumnya aku bermain-main dengan salah satu mesin koleksi ruangan itu—oh iya, itu mesin telegram—maka aku beralih sejenak dengan rak buku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau sebelumnya aku bermain-main dengan salah satu mesin koleksi ruangan itu—oh iya, itu mesin telegram—maka aku beralih sejenak dengan rak buku. Sungguh ada banyak buku yang bisa dibaca. Masalahnya aku tak terlalu paham dengan bahasa di dalamnya. Entah, ada campuran bahasa Belanda sama Melayu. Aku lebih baik mengutamakan buku dengan tulisan bahasa Melayu saja—memang mirip-mirip sama bahasa di tempat asalku.

Buku pertama yang aku baca adalah laporan proyek jalan penghubung di tempat yang tak aku kenali, lewati. Buku kedua tentang organisasi pemuda yang bermarkas di Batavia, menarik sih jadi teringat pelajaran sejarah namun... lewati. Buku ketiga tentang ramuan herbal untuk berbagai penyakit. Ini bisa aku bawa ke luar, simpan dulu. Buku keempat tentang daftar barang yang entah apa gunanya, lewati.

Dan buku kelima hanya foto album. Aku tidak terlalu kenal orang-orang di foto itu. Intinya itu foto keluarga, mulai dari ayah, ibu, dan... saudara-saudaranya. Oh, itu foto saat mereka baru menikah. Yang bisa aku gambarkan, foto-foto tersebut kurang lebih menggambarkan suasana era sebelum merdeka, mirip di film-film nasional tentang kemerdekaan begitu. Lama-lama aku jadi bawa perasaan, membayangkan bagaimana diriku ketika menjadi seperti mereka. Ah, ternyata ada foto bayi juga. Pasti itu anak pertama mereka—pemilik foto album.

Tiba-tiba aku berpikir, zaman dahulu sudah ada kamera ya? Kalaupun ada di tahun aku berada saat ini—masa lalu—pasti itu edisi terbatas sekali. Apa disini punya kamera juga...?

Iya, ada! Aku menemukannya bertumpuk dengan koleksi mesin aneh.

Setelah kuambil, ternyata bentuknya sedikit aneh ketimbang kamera modern. Benar juga, kamera foto jaman dulu punya lensa yang besar, tetapi mengeluarkan cahaya yang sangat menyakitkan mata. Ah, aku bawa saja untuk masuk dalam kapsul waktu.

Kira-kira apa lagi barang disini yang bisa dimasukkan kedalam kapsul waktu? Iya, tumpukan surat telegram aku ambil juga. Sudah itu saja, karena barang lain di tempat ini aku tidak paham kegunaannya.

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang