Chapter 42 - Menjebak Diri

24 7 1
                                    

Bagian belakang dari bangunan balai kampung Bandaru sangat tertutup oleh pepohonan dan semak-semak. Namun ada satu celah tak terduga untuk masuk ke dalam ruang rahasia di dalam bangunan itu. Aku sebenarnya sudah menemukannya cukup lama namun lupa aku sampaikan kepada orang terpercaya yang justru akan pergi sebentar lagi—sebenarnya aku tidak ingin membiarkan dia pergi dariku.

 Aku sebenarnya sudah menemukannya cukup lama namun lupa aku sampaikan kepada orang terpercaya yang justru akan pergi sebentar lagi—sebenarnya aku tidak ingin membiarkan dia pergi dariku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mengapa kita di belakang sini?" tanya Charlie kebingungan. Dia tampak membawa ransel besar miliknya dari rumah kakek Borhan. "Ada ruang rahasia lain?"

"Bukan, kamu bisa masuk ke ruang rahasia temuan kita dari belakang sini," jelasku. "Tunggu disini sebentar, aku akan naik ke ruang rahasia."

Dengan cepat aku berlari masuk ke dalam balai desa. Waktu sudah hampir siang sehingga jarang sekali terlihat orang berlalu-lalang di luar. Namun berbeda di dalam ruangan, ada segelintir orang yang seperti biasa melakukan pekerjaan masing-masing.

Aku berjalan santai menuju pintu masuk ruang rahasia, sesekali menyapa orang yang aku lewati agar terlihat tidak mencurigakan. Aku cukup lega tidak ada kakek Borhan maupun Nanny di sini.

Sampai ketika aku berhasil masuk kedalam ruang rahasia dengan aman, aku mengambil tali tambang yang cukup panjang di lemari entah yang keberapa. Lalu aku menghampiri jendela berbentuk lingkaran yang cukup besar untuk dimasuki orang dan membukanya dengan susah payah. Barulah aku mengulurkan tali yang kuambil sampai ke bawah dimana Charlie berada.

Kalau dilihat, sepertinya jarak dari tanah ke jendela ini setara dengan gedung lantai dua. Namun ada sejumlah pohon yang tingginya bisa mencapai jendela ini walaupun jaraknya agak jauh dari jendela.

"Ikat tas punya kamu dengan tali ini. Nanti aku angkat ke atas sini!" seruku agak keras. Beruntung aku langsung berhadapan dengan pepohonan jadi tidak ada seorangpun yang tahu.

Charlie terlihat masih tidak mengerti, namun akhirnya dia menuruti perintahku. Setelah itu aku angkat tas miliknya hingga masuk ke dalam ruang dengan aman. Usai mengamankan tas itu, aku mengikat tali terlebih dahulu di kaki lemari—semacam rak namun entah apa namanya—lalu menurunkan tali lagi kepada lelaki itu yang masih di bawah.

"Sekarang kamu naik ke sini. Kamu bisa panjat pohon di sebelah biar lebih mudah," seruku lagi.

Dengan patuh Charlie naik memanjat pohon dengan bantuan tali yang sudah aku siapkan. Aku sebenarnya tidak yakin apakah ini akan berhasil. Semoga saja lelaki itu tidak terpeleset dan jatuh.

Kini tinggal satu langkah lagi menuju jendela dan dia sudah berada di ketinggian yang sama denganku. Hanya saja aku merasa khawatir pada Charlie. Kulihat tidak ada sesuatu yang bisa menjejak kakinya dengan aman. Apalagi hanya ada udara kosong antara satu cabang pohon dengan jendela lingkaran ini.

"Kamu mundurlah dan pegang tali kuat-kuat! Aku sudah lepas sepatu dan akan melemparnya ke dalam lebih dulu," pintanya kepadaku.

Aku hendak bersiap namun dia sudah melempar sepasang sepatu miliknya lewat jendela. Untung sepatu itu bisa masuk dengan aman dan aku tidak terkena apapun. Setelah itu, aku sudah mempererat pegangan tali lalu menyuruh Charlie melompat.

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang