Chapter 2 - Demi Sebuah Kado

105 25 1
                                    

Sore ini aku mampir ke tempat paling ramai di sebuah kota kecil yang sebenarnya tidak ada keistimewaannya, kota tempatku tinggal saat ini. Tempat itu pula menjadi pusat bisnis dan perdagangan di kota ini. Aku sendiri tidak mengharap ekspektasi yang tinggi untuk tempat itu. Aku bukan tipe orang yang suka berbelanja, meskipun sejak dulu aku dibesarkan oleh keluarga yang kaya harta.

Iya, siapa yang tidak tahu kalau ayahku adalah seorang profesor yang suka menyibukkan diri di luar rumah bahkan luar kota. Reputasinya lumayan besar, itu sebabnya dia punya nilai tinggi di kalangan tertentu.

Namun kali ini aku sengaja datang ke pusat bisnis di kota ini hanya untuk membeli satu barang untuk sahabatku sendiri.

Sekejap kemudian kakiku berhenti di sebuah toko jam yang tak ramai pengunjung. Aku berjalan masuk dan melihat-lihat. Banyak sekali jam dinding yang tergantung dan berjejer rapi. Bentuk dan susunannya saja sudah sangat estetik, seperti menyambut karya-karya seniman. Kurasa ini tempat pameran bukan tempat jual-beli.

 Kurasa ini tempat pameran bukan tempat jual-beli

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau beli apa, Non?"

Aku terkejut ketika mendengar seorang bapak tua kacamata memanggil. Kulihat satu pelanggan terakhirnya baru saja pergi keluar dari tempat ini.

"Eh, masih lihat-lihat dulu," jawabku malu-malu.

"Coba lihat yang disini," tunjuk bapak itu di dekatnya. "Koleksi jam tangan paling canggih di kota ini."

Mataku mengikuti arah yang ditunjuk bapak itu. Rupanya itu jam tangan elektrik yang bisa menampilkan background yang berubah-ubah warna dan gradasi.

Tetapi sahabatku tidak suka barang seperti itu.

"Yang model klasik adakah?"

Bapak itu lantas tertawa. "Aku pikir anak jaman sekarang lebih suka yang versi modern. Baiklah, kemari."

Orang itu lalu berjalan mengitari barisan rak yang menyimpan banyak koleksi jam berbagai macam. Hingga akhirnya ia berhenti di satu tempat.

Aku lantas mendekati tempat yang dimaksud bapak itu. Aku pandang sejenak barisan jam tangan yang dominan berwarna emas dan perak. "Kira-kira, dari semua itu yang paling cocok dipakai untuk perempuan yang mana?"

"Orangnya sudah tua atau masih muda?" tanya bapak itu.

"Tentu saja orang muda, seperti saya."

Bapak itu terkekeh lagi, lalu memilih jam tangan klasik yang paling cocok. "Apa kamu ingin menghadiahkan ini kepada seseorang?"

"Eh, iya benar. Saya mau kasih kado buat teman saya. Dia suka barang-barang kuno."

Fakta menyebut, sahabatku memang suka barang klasik. Apalagi penampilannya. Menurutnya fesyen era tahun tujuh puluhan lebih cocok untuknya daripada yang era sekarang. Aku kurang paham dengan alasan pastinya, namun dia merasa lebih nyaman memakai pakaian model lama itu.

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang