Chapter 28 - Anak Kota

35 9 0
                                    

Kampung Bandaru benar-benar ingin menutup diri dari kehidupan luar. Lantas bagaimana dengan masa depan nanti? Apakah kampung itu tetap utuh atau hanya meninggalkan nama?

 Lantas bagaimana dengan masa depan nanti? Apakah kampung itu tetap utuh atau hanya meninggalkan nama?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku kasih tahu ya, anak kota." Kata kakek Borhan. "Desa Bandaru selama ini hidup mandiri. Kami penduduk desa sudah cukup bergantung pada hasil tani warga sini dan hasil perburuan hewan di hutan dan sungai. Memang kami sempat mendapat barang luar yang jarang kami tahu. Itu sejak si saudagar yang merupakan temanku datang kemari dan disambut dengan baik. Namun tanpa kami sadari telah mengundang kakaknya yang justru merampas sumber utama dari desa ini, hingga nekat membuat wilayah kekuasaan dia sendiri.

"Sebab itu, kami harus mengusir mereka semua lalu menutup gerbang masuk desa mana pun agar tak ada yang kembali. Iya, kami mungkin tidak akan dapat barang luar lagi. Namun tanpa itu saja kami masih bisa bertahan hidup."

"Itu berarti... kakek tidak bisa menikmati kopi dan teh yang ada sekarang, kalau barangnya di desa ini sudah tak tersedia?" tanyaku menebak.

"Kopi mungkin menjadi minuman asing bagi kami. Tetapi sebenarnya warga ini sejak awal lebih suka minum jamu. Bahannya juga mudah didapat di desa ini," jelas kakek Borhan.

"Bagaimana dengan tempe dan tahu?"

"Kami sudah punya tempat produksi tempe. Sedangkan tahu tidak. tetapi itu tidak masalah jika warga kami tidak makan olahan tahu, karena bahan utamanya sama dengan tempe."

"Kalau begitu... koran yang biasa dibaca kakek?"

"Aku tidak baca koran, Sarah. Itu laporan tertulis yang berhubungan dengan desa."

"Tapi itu dari kertas, bukan? Kalau tidak ada kertas, mau pakai apa?"

Kakek itu terkekeh. "Kertas bukan barang familiar di zaman ini. Masih ada media lain pengganti kertas, seperti kulit hewan."

"Itu sudah kuno, kek." Aku memperingatkan. "Suatu saat orang-orang lebih banyak memakai kertas untuk dipakai hal apapun."

"Terus kau ini bisa bikin kertas?"

Akulah yang terkekeh. "Aku tahu, kertas itu terbuat dari kayu, dilebur menjadi bubur lalu dicetak menjadi papan yang sangat tipis tetapi tidak kaku. Kalaupun tidak ada alat dan bahan, kita bisa memanfaatkan kertas sisa dan tak terpakai untuk menjadi kertas baru lagi."

"Lantas kau yakin bisa buat sendiri?"

"Mengapa tidak sekalian ajak warga kampung ini untuk belajar membuat kertas? Lihat, selama ini warga hanya mengandalkan ilmu pertanian dan peternakan. Kemudian hasil produknya disimpan untuk diri mereka sendiri, dan begitu saja. Padahal kita bisa kembangkan semua itu dan menciptakan sesuatu yang baru dengan memanfaatkan apapun yang ada di desa ini."

Aku terlihat seperti sedang berpidato.

"Itu pun mustahil, anak kota. Mereka tidak punya ilmu yang banyak. Mereka hanya tahu apa yang dilakukan sehari-hari termasuk dari leluhur mereka sejak lama," sanggah kakek Borhan.

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang