Dua orang gadis sedang duduk di kafe, posisi mereka berhadapan. Salah satunya sedang asik makan, dan yang satunya sudah selesai makan. Kafe ini tampak sepi, hanya mereka yang ada disini.
Gadis yang sudah selesai itu menatap temannya. Temannya yang merasa diperhatikan pun langsung mendongakkan kepalanya.
"Kenapa?" Tanya Dinda.
"Din, Lo ada jerawatnya," ucap Febi dengan suara pelan.
Dinda mengangguk. "Sakit enggak?" Tanya Febi.
"Enggak, asalkan gak dipencet aja," jawab Dinda singkat.
Dinda langsung melanjutkan makan. Sedangkan Febi masih memperhatikan wajah Dinda yang penuh dengan jerawat.
"Maaf Din kalo Gue lancang bilang ini. Tapi, dulu wajah Lo itu benar-benar bersih dan glowing. Sekarang tumbuh jerawat banyak banget, itu kenapa?"
Dinda kembali berhenti makan. Ia menatap Febi.
"Gak tau, makannya Gue juga heran. Kalo kata Ibu Gue sih ya ini hormon Gue aja," balas Dinda.
"Oh, yang sabar ya,"
"Iya,"
Dinda kembali makan. Febi melihat sekeliling kafe ini, ia masih duduk di kursi itu.
Drrtt
Drrtt
Ponsel Febi yang ada di tasnya bergetar. Febi langsung mengambil ponselnya dan menjawab panggilan dari ibunya itu.
"Assalamualaikum, Febi kamu ada dimana? Bisa pulang sekarang gak? Soalnya Ibu tiba-tiba pusing,"
"Waalaikumsalam, oke aku pulang sekarang."
"Ibu jangan kemana-mana."
Tut
Dengan cepat Febi memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dinda sudah selesai makan saat Febi menatap Dinda.
"Din, Gue duluan gapapa nih? Soalnya Ibu Gue pusing katanya," ucap Febi.
"Iya gapapa," jawab Dinda.
Febi memakai tasnya lalu berdiri. "Sorry banget ya,"
"Iya, gapapa santai aja," balas Dinda.
Febi langsung keluar dari kafe ini. Dinda baru ingat bahwa Febi beluk membayar semua ini.
"Hadeuh tu bocah pengennya gratisan Mulu," gerutu Dinda.
Dinda berdiri. Ia mencari pelayan. "Mba!" Panggil Dinda pada seorang pelayan yang sedang mengelap meja lain.
Perempuan itu langsung mendekati Dinda. Dinda mengambil uang lima puluh ribu, lalu memberikannya pada pelayan itu.
"Jumlahnya lima puluh ribu kan?" Tanya Dinda memastikan.
"Bentar saya cek, kak." Pelayan itu mengambil kertas harga dan menghitung jumlahnya.
Pelayan itu kembali menaruh kertas itu di atas meja.
"Iya benar, lima puluh ribu," Dinda pun langsung menyerahkannya dan langsung diterima oleh Dinda.
Dinda hanya membawa tas lalu dipakai dipunggung. Dinda berjalan menuju pintu keluar.
"Kak!" Panggil pelayan itu.
Dinda berhenti dan menoleh ke belakang. Pelayan itu mendekatinya.
"Maaf, itu di celana Kakak ada darah."
Dinda mengeceknya menggunakan tangan. Jarinya ia lihat dan ada bercak merah.
Dinda menatap pelayan itu. "Ya Allah, makasih ya Mba. Di sini ada toilet?" Tanya Dinda terharu.
"Ada, Kak. Disitu ya," Pelayan itu menunjuk toilet.
"Tolong dicuci sampai bersih ya kak. Kaka bawa celana ganti? Sama pembalutnya?"
"Kalo pembalut ada, tapi celana enggak ada."
"Saya ada celana kak, boleh kaka pake kalo mau," tawar pelayan itu.
"Beneran gapapa, Mba? Ya Allah baik banget makasih banyak ya," Pelayan itu mengangguk.
Perempuan itu masuk ke sebuah ruangan. Tak lama kemudian pelayan itu keluar dengan celana panjang berwarna hitam di tangannya.
"Ini, Kak. Gak usah dikembalikan ya, itu celana sudah tidak terpakai juga," celana itu diberikan pada Dinda.
Dinda yang menerima itu pun langsung terharu.
"Makasih banyak ya, saya ganti dulu,"
"Saya tinggal ya kak, soalnya masih ada urusan lain," ucap pelayan itu.
"Oke, sekali lagi makasih ya." Pelayan itu mengangguk lalu pergi.
Dinda berjalan ke toilet itu. Di pintu ada bacaan doa sebelum masuk kamar mandi dan doa sebelum membuka pakaian, tapi Dinda tidak memperdulikan itu. Ia langsung masuk ke toilet itu. Ia mengganti semuanya. Pembalut belum ia bersihkan.
Ketika sudah selesai semua. Dinda menatap pembalut itu, sedang bingung ingin membersihkan atau tidak.
Tanpa basa-basi, ia langsung memasukkan pembalut itu ke dalam plastik lalu diikat sekencang mungkin dan memasukkannya ke dalam tempat sampah.
Dinda langsung keluar dari kamar mandi. Ia menutup pintu toilet. Dinda berjalan keluar dari kamar mandi.
Ceklek
Dinda kaget dan langsung berhenti. Ia menoleh ke belakang. Toilet yang tadi ia gunakan, pintunya sudah terbuka.
Kresek kresek kresek
Ia menelan ludahnya kasar. Apa ada seseorang yang masuk ke dalam dan membuka plastik yang berisi pembalutnya? Atau ada hantu?
Dinda tidak takut. Perlahan ia mendekati toilet itu.
"Tadi udah ditutup belum sih? Kayanya udah deh," Dinda sudah berada di hadapan toilet itu.
Ia kembali menutup pintu itu. Baru satu langkah ia hendak pergi, suara plastik dibuka membuatnya kembali ke hadapan toilet
Kresek kresek
Dinda mulai takut. Ia jongkok, dan mengintip dari bawah.
Matanya membulat lebar, mulutnya hampir teriak tapi langsung ditutup olehnya.
Yang dilihat Dinda adalah darah keluar dari plastik itu. Padahal darahnya tidak sebanyak itu.
Dinda berdiri dan langsung pergi dari kamar mandi, juga kafe ini tepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HE LOVE ME (END)
Mystery / ThrillerSemua ini tidak akan terjadi jika Aku tidak membuang pembalut sembarangan. Semua ini tidak akan terjadi jika Aku membaca doa sebelum masuk ke kamar mandi dan membuka pakaian. Semua ini tidak akan terjadi jika Aku tidak berlebihan saat sedih ataupun...