31. Nasehat Ayah dan Ibu

5.4K 777 10
                                    

Biasanya kita merasa jauh itu karena kurang komunikasi. Kalian merasa jauh sama Ibu? Coba ajak ngobrol pelan-pelan. Merasa jauh sama teman? Coba balas status dia dengan candaan atau sapaan apa gitu. Misalkan "eh Dinda apakabar? Kangen nih"

~~~

"Perbanyak ibadah, dekatin Tuhan. Intinya gue bisa pisah dari Jaka kalo gue lakuin itu semua!" Dinda mengingat apa yang diucapkan oleh Dinda.

Kini Dinda tengah berjalan ke arah rumahnya yang bentar lagi sampai, hanya perlu tiga langkah lagi.

Tangannya meraih pagar hendak membuka. Namun sebelum membukanya, ia teringat akan pesan Febi yang disampaikannya tadi.

"Nih intinya jin atau makhluk lainnya enggak bisa lihat Lo kalo Lo memulai sesuatu dengan Bismillah. Pake aja kaya Bismillah, paham? Lo juga harus paham makna kata Bismillah juga sih, jangan asal pake doang tapi enggak tahu artinya."

"Bismillah." Ucap Dinda lalu membuka gerbangnya.

Dinda duduk di lantai agar memudahkan dirinya melepas sepatu.

"Dinda,"

"Dinda,"

Seperti ada yang membisik di telinga Dinda.

"Astaghfirullah emang ada aja setan yang ganggu di saat gue mau tobat," ucap Dinda kesal. Kali ini bukannya takut, ia malah kesal tak perduli siapa yang memanggilnya.

Dengan rasa kesal ia melepas sepatunya.

"Heh orang dipanggil malah marah-marah. Kamu kali setannya," Ternyata itu suara Ayahnya.

Kepalanya mendelik sedikit ke belakang. Tangannya masih aktif untuk melepaskan sepatu. Setelah lepas, tangannya berganti profesi mencium tangan ayahnya.

"Tumben kamu," celetuk Firman. Sebenarnya ada kata-kata lain yang ingin di celetukkan, namun ia tahan karena takut menyakiti.

"Ibu dimana?" Tanya Dinda mengalihkan. Jujur, rasanya ia malas menjelaskan bagaimana ceritanya ia berubah menjadi seperti ini. Baginya ini hal privasi, walaupun diceritakan kepada Ayahnya.

"Ada di dalam. Masuk yuk! Ayah sama Ibu mau bicara sama kamu," Firman berjalan pelan masuk ke dalam rumah.

Yang di ajak masuk masih diam di tempatnya. Sudah bisa menduga bahwa Firman dan Aisyah akan membahas masalah jin itu.

Dinda menghela napasnya kasar. Walaupun ia belum siap bercerita karena takut respon mereka, ini harus ia hadapi. Tidak bisa lari begitu saja dari masalah.

"Bismillah!" Ucapnya dalam hati. Entahlah semenjak kemarin, ia selalu merasa berdua.

Dinda berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berdiri di pintu. Di ruang tamu sudah ada Aisyah dan Firman duduk di sofa bersampingan.

Mereka tampak mengobrol kecil, Dinda tidak bisa mendengarnya.

Kehangatan dua orang ini, yang berhasil mendidik dan membiayai kehidupan Dinda sampai sekarang. Saking hangatnya, hati Dinda sampai tersentuh. Rasa sesak kembali menyerangnya.

Di rumah tangga tentunya ada permasalahan. Ada yang bisa menyelesaikan dan ada yang tidak bisa. Namun Dinda salut kepada kedua orang tuanya. Mereka berhasil, entah sampai kapan Dinda berharap mereka berdua selalu bersama.

"Dinda? Duduk sini, nak." Ujar Aisyah dengan suara halusnya. Aisyah memindahkan posisi duduknya ke kanan, menyisakan tempat untuk duduk di pertengahan Firman dan Aisyah.

Ternyata mereka berdua sudah menyadari kehadiran Dinda. Respon Dinda hanya tersenyum dan mengangguk.

Dinda langsung duduk di pertengahan antara kedua orang tuanya pada sofa yang sama.

"Ayah sama Ibu senang lihat perubahan kamu, Din. Tentang jin itu, Ayah sama Ibu paham kok. Kamu sekarang sudah paham belum caranya supaya kamu enggak bisa dilihat sama jin itu?"

Dinda menatap ayahnya yang tadi berbicara. "Paham kok. Tadi dikasih tahu sama Febi. Kata Febi Dinda cuma perlu beribadah, terus kalo memulai sesuatu ucapkan Bismillah. Itu bener?"

"Benar. Senang Ayah lihat pertemanan kamu sama Febi,"

"Febi bermanfaat bagi Dinda, tapi Dinda enggak bermanfaat bagi Febi."

"Dinda merasa kaya gitu kenapa? Padahal Dinda sering bantu Febi. Kalo Dinda merasa kaya gitu mulai sekarang bantuin Febi ya kalo dia kesusahan?" Dinda menoleh ke arah ibunya yang berada di samping kanan.

"Okeey bakal Dinda usahain!!" Balas Dinda semangat walaupun hatinya rapuh. Ketika kita menyakiti lalu dinasehati dengan tulus oleh orang yang kita sakiti itu rasanya menyakitkan. Dinda ingin menangis bukan main.

"Dinda belajar terus ya dari kehidupan? Dengan peristiwa jin itu, Dinda bisa berubah kaya gini kan? Jangan membenci masa lalu, jadiin pelajaran aja. Coba deh bayangin kalo peristiwa ini enggak terjadi, mungkin Dinda masih jarang sholat dan jauh dari Allah kan?"

Dinda menatap ke bawah kemudian mengangguk. Kenapa semua yang dikatakan oleh kedua orang tuanya itu selalu benar? Ternyata benar Firman Allah dalam Al-Qur'an agar menuruti perintah orang tua dan jangan melawan. Untuk orang tua yang durhaka pun Tuhan sudah jelaskan dalam Al-Qur'an bagaimana cara menanganinya.

"Ingat ya perintah Ayah nih. Kamu jangan ninggalin sholat, kamu butuh Allah bukan Allah yang butuh kamu. Jadikan Allah sebagai tempat kamu bergantung (maksudnya kita selalu mengandalkan Tuhan, bergantung segala urusan kepada-Nya)."

"Luangkan waktu untuk sholat, jangan sholat di luang waktu. Okay?" Ucap Aisyah.

Dinda mengangguk lagi sebagai jawaban.

"Dinda, saat kamu berubah pasti ada komentar baik sama komentar buruk. Jangan merasa senang ketika kamu dipuji, jangan dengarkan perkataan manusia. Jadilah diri kamu sendiri, okay?" Dinda kembali mengangguk sebagai respon kepada Ayahnya.

"Tapi, ada yang lebih baik dari jadi diri sendiri, yaitu jadi apa yang Allah perintahkan!" Ucap Aisyah dengan nada senang. Memangnya siapa sih yang tidak senang saat melihat anaknya berubah menjadi lebih baik.

Dinda menoleh ke arah ibunya. "Iyaaa Dinda usahain."

"Usaha harus pake niat. Kamu lakuin itu harus karena Allah. Kamu bakal dapet pahala kalo kamu lakuinnya ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah,"

HE LOVE ME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang