37. Niat move on

4.5K 647 16
                                    

Hai, Dinda disini. First time gue nulis kaya ginian haha. Awalnya ini surat buat Lo, Jaka. Gue gak tahu nama asli Lo siapa, tapi ya udah lah gue pake nama Jaka aja. Lagian Lo kalo ditanya selalu ngelak, dan kalo gue tahu pun pasti gue bakal kaget. Gue males nulis panjang. Jadi intinya gue suka sama Lo, dan gue yakin juga Lo suka sama gue. Karena Lo gak akan Dateng ke gue kalo Lo ga suka sama gue. So, gimana sekarang? Lo udah menemukan pasangan hidup? Gue blum hehe. Gue masih megang kata-kata Lo. "jangan gampang dekat sama laki-laki karena banyak laki-laki yang suka sama gue cuma karena tubuh gue" sekira gitu lah ya. Makasih Ka udah Dateng ke gue, satu Minggu kali ya kita bareng. Satu Minggu itu gue merasa ada penyemangat dan penyemangat gue sekarang hilang. Lo sosok pertama yang bikin gue jatuh cinta kaya gini. Makasih, Ka. Makasih juga karena Lo gue jadi paham masalah beginian.

"Huhu, alay banget gak sih?" Dinda mengangkat kertasnya yang tadi ia torehkan dengan unek-unek hatinya.

"Gapapa deh lagian ini juga enggak akan dibaca, ini cuma buat bikin hati gue lega aja,"

Dinda menghela napasnya pelan. "Gue mau lupain Lo, Ka. Semoga Lo bisa lupain gue juga,"

"Dinda makan duluu!"

"Iyaaa!" Sahut Dinda sambil menyimpan kertas itu di selipan buku.

Dinda langsung menemui ibunya di dapur. Tidak ada Firman di dapur, matanya mencari sosok Ayahnya itu.

"Ayah kemana, Bu?" Dinda menemui ibunya di dapur tengah membaca buku tentang haji. Itu buku kemarin yang dibeli oleh ayahnya.

"Lagi keluar," Aisyah masih duduk di kursinya dan fokus membaca tanpa menoleh ke anaknya.

"Ohh," balas Dinda. Dinda berjalan menuju kursi yang ada di hadapan Aisyah lalu duduk di kursi itu. Seperti biasa, sudah ada sarapan sore untuk Dinda yang dibuatkan oleh Aisyah.

Aisyah menyimpan bukunya di atas meja dan menatap anaknya yang tengah makan. "Din, ibu hajinya di cepetin. Minggu depan tuh berangkat,"

"Ouh ya udah," balas Dinda. Tidak memberikan reaksi berupa ekspresi terkejut. Wajahnya biasa saja.

"Berarti pas kamu ujian kenaikan kelas kan Ibu sama Ayah pergi, kamu gapapa?"

"Gapapa Ibu, dah biasa aku mah."

"Btw jangan lupa bawa oleh-oleh yang banyak. Ibu tau kan Dinda suka banget sama kismis, apalagi air zam-zam nya."

"Oke!" Balas Aisyah.

Aisyah berdiri dan kembali ke kamarnya karena ada keperluan.

Setelah makan, Dinda langsung mencuci piring tersebut. Dirinya kembali ke kamar dan duduk di kursi rias.

Menatap wajahnya di hadapan kaca. Ada beberapa jerawat yang mulai menghilang, namun bekasnya masih ada.

"Alhamdulillah akhirnya Lo menghilang juga," jarinya menunjuk area kulit dimana jerawat itu tumbuh.

Kulitnya yang semula hitam kini agak memutih. Entah ini menurutnya saja atau memang kulitnya semakin memutih.

"Ya Allah hilangkanlah semua jerawat yang ada di wajahku!!" Doanya.

Dinda menghadap ke arah kanan. Tangannya kirinya bertumpu di atas meja.

"Gue harus move on dari dia, tapi caranya gimana??"

Dinda menghela napasnya kasar. Menghubungi Febi adalah jalan ninjanya. Karena Febi selalu memberikan solusi kepada Dinda.

Mencari ponselnya di dalam tas. Tidak menemukan ponselnya di dalam tas, ternyata ada di atas kasur. Sepertinya ia tidak membawa ponsel.

Bokongnya mendarat ke pinggir kasur. Jarinya langsung mencari nomor Febi dan meneleponnya.

"Apaan?"

"Febi cara move on gimana sih?"

"Lah ngapa tiba-tiba nanyain ini? Kan gak ada cowok yang deketin Lo,"

"Dih anj—ya intinya cara move on aja gimana, yang gampang banget,"

"Move on dari jin itu? Emangnya Lo beneran suka sama dia?"

"Iya buru cara move on gimana. Gak ada gunanya juga kalo gue suka sama dia dan nungguin terus, dianya ga dateng-dateng,"

"Lo sibukin diri Lo. Jauhin Lo dari hal-hal yang bikin Lo dekat sama dia lagi. Tapi Din, emangnya Lo beneran suka sama dia?"

"Kepo deh anda. Ya udah deh makasih,"

"Emangnya—"

Tut

Dinda langsung mematikan sambungannya sebelum Febi bertanya lebih lanjut. Sedang malas bercerita apalagi jika membahas perasaanya.

"Dasar temen gak tau diri," umpat Febi.

Tangannya turun ke bawah dan diletakkan di atas paha.

Bola matanya berpindah dari ke kanan, atas, dan kiri secara perlahan.

"Bentar lagi gue lulus juga. Pilihannya ada 4. Antara kerja, kuliah, nikah, atau nganggur. Tapi gue gak mau jadi pengangguran lah, semalas-malasnya gue samasekali enggak ada niatan buat jadi pengangguran,"

"Tapi dengan cara gue sibuk dari situ gue bisa lupain Jaka kan?"

Jiwa-jiwa ambisius Dinda mulai muncul. Rasa ingin belajar giat kini sudah tumbuh walaupun agak terlambat karena dia sebentar lagi lulus.

"Semangat Dinda! Lo harus move on dari Jaka! Jaka aja bisa move on dari Lo, kenapa Lo enggak bisa? Lagian Lo enggak akan ketemu dia lagi, pasti bisa!"

"Semangat semangat semangat!!"

Namun lima belas menit kemudian dirinya tertidur di atas kasur. Dia memang berniat untuk bertobat dalam hal belajar agar bisa move on dari Jaka. Tapi izinkan dia hari ini untuk libur belajar.

Malam harinya, pada pukul 02.34 badannya bergerak-gerak. Dinda terbangun dari tidurnya. Memerlukan waktu dua menit untuk mengumpulkan niat.

Kali ini ia berniat untuk belajar. Pertama kalinya belajar di malam hari. Siapa tau bermanfaat bagi dirinya.

"Eh tadi tuh gue udah sholat belum ya?" Tanyanya samar-samar.

"Solat apa tuh namanya yang dikerjain di malam hari,"

"Ah mbuh ah," kakinya turun ke lantai mencoba mengalihkan pemikiran otaknya sekarang ini.

Terdengar suara keran menyala dan selanjutnya langkah kaki terdengar. Sudah pasti itu suara Aisyah yang bangun untuk sholat tahajud di malam hari.

Karena tidak penasaran dan tidak mengira itu hantu atau apapun, Dinda duduk di pinggir kasur.

"Belajar apa yah? Gurunya kan belum ngirim jadwal,"

Tuh kan. Setiap ingin tobat pasti selalu ada masalah yang menghambat jalan pertobatannya ini.

Sebenarnya dia tidak tahu apakah Gurunya sudah mengirim jadwal atau belum.

Ia mencari ponselnya di atas kasur. Setelah dapat, ia langsung membuka room chat kelas. Menghela napas lega karena wali kelasnya sudah mengirim jadwal.

"Senin mata pelajarannya matematika sama Bahasa Indonesia,"

"Hm. Mari tobat untuk masa depan daripada menjadi gelandangan!" Dinda tidak main-main dengan ucapannya. Setelah mengatakan itu, ia langsung mengambil buku dan LKS matematika dan mulai belajar.

Setelah matematika, lalu berganti ke mata pelajaran bahasa Indonesia. Hanya sekedar persiapan saja agar tidak kaget.

"Huh bagus juga tulisan gue," ucapnya menatapi catatan yang ia tulis di buku.

Benar kan? Tidak ada salahnya Dinda belajar. Justru belajar membuatnya lupa dengan masalah.

HE LOVE ME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang