3. Dia marah

21.8K 2.1K 115
                                    

Sepulang sekolah, Dinda langsung mandi dan makan. Adzan ashar sudah berkumandang, gadis itu lupa sholat Dzuhur. Bahkan ia pun tidak menyadari bahwa dirinya belum sholat.

Dinda sedang berada di kamarnya sambil membaca novel. Ia mendengar suara air mengucur dari tempat Wudhu. Suaranya pelan, tapi Dinda bisa mendengarnya. Suara itu masih ada setelah satu menit kemudian, telinga Dinda lama-lama kesal.

Gadis itu langsung menyimpan novelnya di atas kasur dan pergi ke tempat wudhu. Tubuhnya berdiri di hadapan keran, ia terdiam. Tidak ada ibunya, dan tidak ada siapa-siapa.

"Halo?" Ucap Dinda dengan suara keras.

Mata Dinda terus menatapi keran itu yang masih mengocor. Belum ia matikan, pada akhirnya dimatikan oleh Dinda. Tiba-tiba suasana menjadi sangat hening, sunyi. Padahal tadi terdengar sangat berisik karena suara keran itu.

"Hai," suara itu mengagetkan Dinda.

Gadis itu keluar dari tempat wudhu dan mendapati ibunya sedang berdiri di ambang pintu.

"Kamu ngapain?" Tanya Aisyah.

"Bu, siapa sih yang nyalain ledeng? Perasaan Ayah pulangnya hari Minggu kan?"

"Kayanya kamu lupa tutup keran, kan abis wudhu," Aisyah mengira Dinda sudah sholat.

Mata Dinda membulat saat mengingat dirinya belum sholat Dzuhur, juga sholat Ashar.

"Gue sholat Dzuhur nya di rumah aja,"

"Kenapa?" Tanya Aisyah saat melihat ekspresi Dinda.

"Gapapa, Ibu darimana sih?"

"Dari Masjid, kenapa? Kamu kok takut kaya gitu mukanya?"

"Ya aku takut, Bu. Tadi keran nyala sendiri, di rumah gak ada siapa-siapa selain aku,"

"Oh, paling kamu lupa," celetuk Aisyah.

"Iya kayanya mah lupa, ya udah aku mau ke kamar dulu," Dinda pun kembali ke kamarnya.

Ia duduk di kasurnya lalu mengambil novel dan melanjutkan membaca.

Pintu lemarinya terbuka, baju-baju Dinda keluar dengan sendirinya. Dinda yang sedang membaca buku, tidak menyadari itu. Buku sekolah yang ada di meja belajar pun bergerak dengan sendirinya, hingga jatuh ke lantai.

Suara jatuhnya buku ke lantai, membuat gadis itu menoleh ke meja belajar.

"Heh!" Kaget Dinda saat melihat baju-bajunya keluar dari lemari.

Dinda mendekati lemari lalu mengambil bajunya. Ia tidak memasukkan bajunya ke lemari dahulu, ia berpikir sejenak.

"Perasaan Gue gak ngelakuin ini," ucap Dinda dengan alisnya yang mengerut.

Dinda langsung merapihkan baju-bajunya dan dimasukkan ke dalam lemari. Pintu lemari lupa ia tutup, Dinda langsung kembali ke kasur dan membaca novel. Pintu lemari itu tertutup dengan sendirinya.

Ceklek

Aisyah berjalan mendekati Dinda dengan membawa tas jinjingan di tangannya.

"Din, tolong berikan ini ke Bu Fatwa ya," Dinda menaruh novelnya lalu mengambil tas jinjingan itu.

"Oke," balas Dinda dan Aisyah pun langsung keluar dari kamarnya.

Dinda mengambil jaket untuk menutupi lengannya, celananya kebetulan panjang. Walaupun pakaiannya menutupi tubuh, ia tidak menggunakan kerudung.

Menurutnya, itu sangat panas. Tapi tanpa sadar, api neraka lebih panas dan tidak ada AC disana.

Ia memakai sendal lalu keluar rumah. Di jalan ia tiba-tiba merasa ada yang mengikutinya lagi. Dinda berhenti sejenak. Tapi, kali ini ia tidak akan menoleh ke belakang lagi.

Dinda kembali berjalan tanpa memperdulikan perasaanya itu. Wajah Dinda berubah menjadi takut saat mendengar suara langkah kaki seseorang yang berlari ke arahnya. Dinda pun berlari menuju rumah Bu Fatwa.

Lelaki itu mengikutinya, tapi Dinda tidak melihatnya.

"Assalamualaikum!" Dinda menggedor-gedor pagar besar rumah Bu Fatwa.

"Huh... Huh..," nafasnya menjadi tidak teratur karena berlari.

Ia melihat ke jalan yang tadi ia lewati. Tidak ada siapa-siapa disana. Lalu tadi suara apa?

"Halo? Cari siapa?" Dinda langsung menengok ke rumah Bu Fatwa saat mendengar pagar ini dibuka.

Seorang lelaki yang usianya terlihat seperti Dinda berdiri di hadapan gadis itu. Ia pikir ini adalah anak Bu Fatwa. Di tangan lelaki itu ada ponsel yang sedang menampilkan layar game.

"Bu Fatwa nya ada?"

"Oh, ada. Kenapa?" Tanyanya singkat. Dinda jadi terpana.

Entah kenapa ia gampang sekali suka sama lelaki. Padahal baru bertemu.

"Ini dari Bu Aisyah," Dinda mengangkat tas itu.

"Sini, biar saya aja yang kasih." Pinta lelaki itu.

"Oh ya udah, ini," Dinda pun menyerahkannya.

"Makasih," ucap lelaki itu lalu masuk dan menutup pagar.

Dinda mendengus kesal. Tidak adakah ajakan untuk masuk ke rumah?

Dinda berjalan pergi dari rumah Bu Fatwa. Ia melewati jalan yang tadi ia lewati, ia berlari karena takut ada yang mengikutinya lagi.

Dinda melepas sendalnya saat sudah sampai di rumah. Ia masuk ke dalam, berhenti di hadapan kamar ibunya.

Tok tok

Tok tok

Ia menggerakkan kakinya karena gatal. Ia menoleh ke kanan, karena bosan. Tanpa sadar, bayangan hitam yang membuka pintu itu. Terlihat sangat seram, jika Dinda membukanya mungkin ia akan pingsan.

"Dinda, udah ke Bu Fatwa?" Ternyata Aisyah ada di dapur.

"Udah, Bu." Jawab Dinda.

Dinda pergi ke dapur.

"Bu, anaknya Bu Fatwa itu ada berapa sih? Satu kan?" Aisyah mengangguk.

"Kenapa?"

"Anaknya jutek banget, siapa sih namanya?"

"Devan,"

Aisyah sedang masak sesuatu. Dinda langsung mendekati kompor dan membuka panci lalu menutupnya lagi saat sudah tau. Ternyata sayur.

"Kamu belum makan sore kan?" Tanya Aisyah yang sedang sibuk memotong sayur.

Dinda menggelengkan kepalanya. Gadis itu duduk di kursi dapur.

"Din, Ibu lihat di berita ada anak kecil yang dinikahin sama Jin."

Dinda langsung bergidik ngeri. "Jin sama iblis emang beda ya, Bu?" Tanya Dinda.

"Beda. Iblis itu kaya nenek moyang gitu, tau kan kisah nabi Adam sama Iblis? Yang buah khuldi itu lho,"

"Iya tau," balas Dinda.

"Nah itu. Serem banget kan," celetuk Aisyah.

"Dinikahin? Emang bisa ya Bu? Kan beda alam?"

"Bisa, ada kok tanda-tanda wanita yang sudah dinikahi oleh jin. Makannya sering-sering dengar ceramah," nasehat Aisyah.

Aisyah menaruh piring yang ada ikannya di meja. Aisyah duduk di kursi sambil menunggu sayur yang sedang dimasak.

"Dinda gak habis pikir sama Jin. Jin nikahnya sama Jin, masa sama manusia. Egois banget, jijik deh jangan sampe Dinda dinikahin sama Jin!" Gerutu Dinda.

Prank

Dinda dan Aisyah langsung menoleh ke sayur. Mereka sama-sama kaget saat melihat panci berada di atas lantai dan semuanya beralatan kemana-mana.

Mereka berdua saling tatap mata. Aisyah langsung mengambil plastik lalu memasukkan sayur-sayur. Sedangkan Dinda mengambil elap untuk mengelap air sayurnya.

Setelah selesai, mereka kembali duduk seperti tadi.

"Ibu..," ucap Dinda.

HE LOVE ME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang