32. Dalam tubuh Devan

5.8K 786 48
                                    

Malam harinya Dinda terbangun. Beruntung ponselnya ada di atas kasur tepat di sampingnya.

Dinda langsung mengecek jam. Ternyata masih jam 03.00 dan ini bukan pertama kalinya ia bangun seperti ini. Tapi, ini pertama kalinya ia bangun di malam hari tanpa gangguan sosok itu. Sosok Jaka maksudnya.

Bukannya bangun, tubuhnya malah kembali tiduran dan menjauhkan ponselnya dari tubuhnya. Matanya dipejamkan dengan sengaja untuk memperoleh ketenangan.

"Kenapa gue jadi kangen sama si Jaka sih,"

Terbangun di malam hari lalu teringat dengan sosok yang kita rindui itu tidak enak. Biasanya jika di siang atau pagi hari Dinda bisa mengalihkannya dengan melakukan suatu kegiatan. Namun di malam hari tidak ada yang bisa ia lakukan selain tidur. Tidur pun sepertinya tidak bisa dilakukan lagi karena rasa kantuknya telah hilang.

Ceklek

"Dinda??" Itu ibunya yang membuka pintu. Seperti hari biasanya melaksanakan sholat tahajud.

Dinda ingin merespon tapi takut diajak sholat tahajud, alhasil ia lebih memilih untuk diam. Untuk sholat yang wajib bisa saja ia lakukan, untuk yang satu ini ia masih belum siap.

Pintu kamar kembali ditutup oleh Aisyah. Mata Dinda masih terpejam. Mengingat masa-masa dirinya bersama Jaka.

Jaka itu sudah Dinda anggap sebagai teman. Semenjak Dinda melihat wujud asli Jaka, Dinda langsung sadar bahwa yang dilakukannya bersama Jaka itu salah.

Semenjak itu juga Dinda menjauh dari Jaka dan mendekat kepada Tuhan. Tapi setelah menjauh, kenapa hatinya tiba-tiba merasa rindu?

Matanya dibuka. Dirinya merasa tidak nyaman. Biasanya di saat tidak nyaman inilah sosok itu kembali menganggu. Selanjutnya ia tidak beranjak dari kasur walaupun merasa ada yang aneh dalam dirinya. Tetap menunggu sosok itu datang, iya si Jaka.

Jika di awal Dinda berkata bahwa semuanya itu salah maka biarkan sekarang dirinya melakukan kesalahan itu. Karena sekarang dia rindu kepada Jaka, melebihi apapun.

Din Lo jangan kaya gitu lagi. Dosa. Lo udah tobat ngapa gini lagi sih

Dinda membatin agar dirinya sadar akan kesalahannya ini. Namun tubuhnya masih dalam posisi yang sama. Menunggu yang ia lakukan tak ada hasilnya. Nyatanya sosok Jaka tidak datang-datang.

"Supaya Jin enggak bisa lihat Lo, Lo harus melakukan segala sesuatu dengan mengucap Bismillah." Ucapan Febi terngiang di otaknya.

Dinda mengubah posisinya menjadi duduk. Tubuhnya kembali ke kasur untuk mengambil ponselnya dan kembali duduk.

Jarinya mengusap layar ke atas. Ponselnya menunjukkan tanggal 8 Oktober 2021 dan pukul 03.14.

Matanya beralih dari ponsel namun tangannya masih memegang benda pipih itu.

"Kalo gue melakukan sesuatu tanpa mengucap Bismillah artinya Jaka bisa lihat gue lagi dong?"

Dinda langsung menyimpan ponselnya di atas kasur. Ia keluar dari kamarnya dan pergi menuju kamar mandi.

Kaki kanannya masuk terlebih dahulu ke dalam kamar mandi, tanpa melakukan perintah Febi.

Dinda buang air kecil. Sengaja ia ke kamar mandi. Jika kalian tidak tahu alasannya, maka jawabannya adalah karena Dinda ingin Jaka bertemu dirinya.

Setelah selesai dirinya langsung keluar dari kamar mandi tanpa berlama-lama. Lalu kembali masuk ke dalam kamar.

Di dalam kamar, tubuhnya menghadap ke arah pintu karena sedang menutup pintu. Hanya memerlukan waktu sebentar untuk menutup pintu. Dinda langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Belum ada respon apapun dari Jaka. Apa artinya mereka berdua sudah tidak bisa bertemu lagi?

Tubuh Dinda menghadap ke arah kiri.

Sebuah tangan kekar memeluk tubuh Dinda di perutnya. Tangan besar itu langsung disadari oleh Dinda tentunya. "Din,"

Bukannya takut, Dinda malah senang. Dikiranya itu adalah Jaka, namun saat tangan itu diperhatikan dengan jelas. Tangan itu sangatlah kekar dan berurat. Tangan Jaka memang berurat tapi tidak seperti itu.

Dinda langsung mengubah posisinya menjadi duduk serta menolehkan kepalanya ke arah lelaki itu.

"Loh anaknya Bu Fatwa?!!"

Lelaki itu langsung duduk dan menyekap mulut Dinda agar tidak menimbulkan kebisingan.

"Ssstt! Diem!" Bentak lelaki itu dengan suara kecil namun tetap bisa didengar oleh Dinda.

Tangan Dinda menjauhkan tangan lelaki itu dari mulutnya. Seperti bentuk fisiknya, lelaki itu tampak berotot seperti orang yang hobi nge-gym.

"Lo anaknya Bu Fatwa??! Ngapain kesini??!!!! Kok bisah!!!" Tanya Dinda setelah lelaki itu melepas tangannya.

"Devan kan?"

"Iya gue Devan," jawab Devan enteng.

"Kok Lo bisa disini?!!! Bagaimana ceritanya?!!!"

"Gue sosok yang ganggu Lo. Alias gue Jaka, Gue enggak bisa jadi Jaka si ketua OSIS itu lagi."

Devan duduk di pinggir kasur dengan wajah lesu.

"Ja-jadi ini Jaka?" Tidak ada respon dari Devan.

Saat tidak mendapat respon dari Devan, Dinda langsung duduk di samping kanan lelaki itu.

"Sebenernya nama kamu siapa sih? Kalo Jaka itu kan nama orang lain, nama asli kamu lho biar aku bisa panggil."

"Buat apa aku kasih tahu tentang diri aku yang sebenarnya kalo ujung-ujungnya kamu pergi,"

Dinda menghela napasnya kasar. Tatapannya merunduk ke bawah.

"Aku tahu yang kita lakuin ini salah. Aku juga takut kalo Tuhan kasih kita azab,"

Devan menolehkan kepalanya ke arah Dinda. Menatap kepala gadis itu yang merunduk ke bawah.

"Kenapa kamu baru sadar sekarang? Kalo salah kenapa kamu masih rindu kaya gini??"

Dinda mengangguk pelan. "Aku kangen karena aku jujur kalo aku beneran suka sama kamu walaupun aku tahu ini salah,"

"Berarti kamu suka sama aku tapi tahu kalo yang kita lakuin ini salah?" Dinda kembali mengangguk.

"Aku juga suka sama kamu, Din. Cuma kita enggak bisa bersama, kamu tahu wujud asli aku aja udah ketakutan apalagi nanti sehari-hari hidup bersama."

Mikirnya kejauhan, batin Dinda. Walaupun dia sendiri berharap bisa bersama dengan Jaka.

"Kita pisah aja ya? Kayanya hubungan ini enggak bisa dilanjut? Gapapa?" Dinda langsung mendongakkan kepalanya menatap ke Devan.

Sejenak terdiam karena memiliki dua jawaban. Jawaban tidak setuju dan jawaban setuju. Namun pada akhirnya hubungan yang tidak pantas itu tidak akan pernah bisa bersama kan?

"Gapapa deh, karena mencintai gak harus memiliki kan? Aku lihat kamu aja udah seneng,"

"Mencintai gak harus memiliki? Omong kosong, Din. Setiap orang yang cinta pasti ada rasa ingin memiliki. Kayanya bener kamu cuma penasaran aja sama aku karena kita beda kan?"

"Enggak gitu tapi—"

"Karena kita berbeda jadinya kamu milih bilang 'gapapa' ?"

"Iya emangnya aku bisa apa??? Kita beda makhluk. Ujung-ujungnya aku bakal menikah sama manusia berjenis kelamin laki-laki yang melamar aku. Dan kamu bakal menikah sama sosok pilihanmu sendiri!"

"Tidur Din, nanti takutnya Ibu kamu dengar," ucap Devan lalu mengalihkan kepalanya.

"Hm iya juga. Besok-besok apa kamu masih bisa lihat aku?"

Devan mengangguk pelan.

"Tidur gih," ucap Devan lagi tanpa menoleh ke arah Dinda.

Saat merasa Dinda sudah tidur di atas kasur, Devan beranjak berdiri.

Ia duduk di meja belajar milik Dinda. Mengambil kertas sobekan dan menulis sesuatu disana.

HE LOVE ME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang