Dinda menutup pintu toilet dari luar. "Aku serasa enggak punya teman kalo di rumah, padahal ada Ibu," ucap Dinda berlebihan.
"Gapapa, kan sekarang ada aku." Jawab Jaka yang berdiri di sampingnya.
"Iya deh iya, awas aja kamu kalo pergi." Ancam Dinda setelah menutup pintu toilet.
"Yu ke kelas!" Dinda menggandeng tangan Jaka.
Namun Jaka malah menjauhkan dirinya dari Dinda. Gadis itu menatap aneh ke arah Jaka.
"Kenapa?"
"Aku enggak bisa masuk," ucap Jaka dengan wajah agak ketakutan.
"Iya kenapa?" Ulang Dinda.
"Ada firman Tuhan di dalamnya,"
"Ma-maksud?"
Dinda memutar bola matanya malas diiringi decakan yang keluar dari mulutnya. Jaka menghilang begitu saja tanpa menjelaskan ucapannya tadi.
Jaka pikir Dinda akan langsung paham. Tapi ketahuilah, Dinda itu memiliki otak yang lemot.
Di saat sedang berpikir tentunya ia akan melamun. Di saat melamun, seperti biasa ada yang mengagetkannya.
"Ssstt!"
"Ssst!!"
Dinda menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa disana. Kok jadi merinding gini?
Dengan cepat Dinda langsung keluar dari area toilet dan bergegas pergi ke kelas.
Di perjalanannya menuju kelas, tangannya ditarik oleh seseorang menuju belakang sekolah namun masih dalam area sekolah.
"Duh Febi Lo mah hobi banget ngagetin gue!" Gerutu Dinda.
Febi melepaskan tangan Dinda saat sudah sampai pada tujuannya. Ada Alvin di sampingnya, mereka bertiga.
"Lo tadi di toilet ngobrol sama siapa?"
Deg
Bagaimana mereka bisa mendengar? Apalagi ada Alvin yang pastinya tidak diperbolehkan masuk ke toilet perempuan.
"Ngobrol apanya? Ya kali gue ngobrol di toilet sama laki-laki," Dinda sudah tau maksud Febi, Dinda pintar dalam hal mengelak.
Febi mengangkat satu alisnya, tanda tak percaya dengan ucapan Dinda.
Sebisa mungkin Dinda menahan ekspresi khawatir dan takut yang akan timbul.
"Kok Lo bisa nebak kalo gue ngira Lo ngobrol sama laki-laki?"
"Hm eh emangnya Lo ngira gue ngobrol sama siapa? Soalnya kan Lo apa-apa suka nuduh gue selalu sama cowok," tuding Dinda.
"Tapi gue sama Febi denger Lo ngomong sendirian. Tapi yang Lo ucapin itu bener-bener kaya lagi ngobrol sama seseorang," Alvin akhirnya bersuara.
Dinda berhadapan dengan Febi dan Alvin.
"Lo denger? Denger dimana?" Tanya Dinda namun bukan berniat untuk mengalihkan.
"Iya kita denger makannya kita nanya sama Lo," jawab Febi dengan wajah malas.
"Udah cepet tinggal jawab aja Lo ngomong sama sapa, gue takutnya Lo udah gila," lanjut Febi masih dengan raut wajah yang malas.
"Dih masa gue dibilang gila," celetuk Dinda bercanda.
"Ya menurut lo kalo orang suka sama jin itu orangnya masih normal atau enggak? Apalagi dia ketipu cuma sama muka ganteng nya doang, kalo enggak laku sama manusia ya jangan sama jin kali,"
Please ini Dinda harus jawab apa lagi? Sepertinya mereka berdua sudah mengetahui semuanya.
Setelah Febi mengatakan itu, Dinda langsung bisa menebak bahwa Febi dan Alvin akan menjauhinya.
Dinda berpikiran seperti itu karena Febi sama Alvin itu orangnya paham agama banget, tapi mereka enggak pernah maksa Dinda untuk menjalankan perintah agama. Tapi setidaknya mereka bisa menghalangi Dinda untuk berbuat maksiat.
Dari raut wajah mereka berdua saja sudah bisa dirasakan muka-muka orang marah dan kecewa.
"Duh sorry ya gue enggak cerita tentang ini, tapi gue sama dia enggak ada hubungan apa-apa kok." Ucap Dinda canggung.
"Dia jin itu kan? Dia itu Jin, bukan manusia. Lo boleh aja suka sama laki-laki asal jangan berlebihan, tapi ini Lo udah kelebihan batas dan Lo harus selalu ingat bahwa dia itu Jin. Dia sebagai jin juga udah melanggar peraturan, Lo tau enggak dia salah apa?"
"Apa?"
"Dia menganggu manusia, manusianya itu Lo! Bodohnya anda, anda malah baper! Coba deh Lo liat wujud aslinya dia, menganga Lo pasti," ucap Febi kemudian terkekeh pelan.
"Menganggu apa sih, Feb? Orang dia malah temenin gue, Lo sebagai teman malah terganti posisinya sama dia," bela Dinda sebagaimana dia membela Jaka di hadapan ibunya.
"Astaga, Lo dikasih apa sih sama Jin itu? Dikasih uang enggak, makanan enggak, cuma dikasih kata-kata doang masa baper. Jadi cewek jangan serendah itu bos! Apalagi Lo rendahnya di hadapan Jin, malu-maluin manusia aja,"
Uhh, hati Dinda sakit mendengarnya. Menasehati boleh tapi jangan sampai menyakiti hati. Tapi tunggu, Febi sedang menasehati Dinda atau apa?
"Apaan sih Feb, bahasa Lo dijaga deh!" Dinda marah.
"Gue udah sering nasehatin Lo baik-baik, tapi Lo nya masih kaya gitu ya buat apa. Daripada Lo entar malah nyesel, Din."
"Gue tanya, Lo suka sama dia? Alasannya kenapa?" Tanya Febi.
"Iya gue suka sama dia, alasannya karena dia selalu ada di saat gue susah."
Sedari tadi Alvin hanya menonton dan mendengar perdebatan antara Febi dan Dinda. Entah apa gunanya lelaki itu disini.
"Bodoh banget sih jadi cewek." Celetuk Febi di hadapan orangnya. Hati Dinda semakin sakit mendengar itu. Bagai ditusuk jarum. Ia mengingat semuanya tentang Jaka, iya Jin itu.
"Yang selalu ada di saat Lo susah itu Tuhan Lo! Cuma Lo nya aja enggak pernah peka! Kalo Tuhan udah enggak kasih Lo teguran, artinya dia udh enggak perduli. Gue kaya gini karena gue perduli sama Lo, minta maaf sama Tuhan gih sebelum terlambat,'
"Oh ya gue rasa sebelum melawan Tuhan pastinya Lo udah melawan orang tua kan? Abis minta maaf sama Tuhan, minta maaf sama ortu Lo ya. Mereka berdua yang udah nanggung biaya Lo hidup, bukan Jin itu."
Febi maju satu langkah untuk menepuk bahu Dinda.
"Minta maaf enggak akan merendahkan harga diri Lo di hadapan mereka. Dengan Lo bersikap begitu sama jin itu, itu baru merendahkan harga diri," bisik Febi lalu pergi meninggalkan Dinda.
Alvin menyusul Febi.
"Heh ngapain Lo ikut kesini kalo diem aja?!" Tanya Dinda.
"Enggak ada gunanya juga sih Din kalo Gue ngomong sama orang yang gak mau denger perkataan orang lain,"
"Dinasehatin sama Febi gue rasa itu sudah cukup. Kalo enggak cukup, berarti Lo udah salah arah,"
"Alias sesat," tambah Alvin lalu pergi.
Dinda menatap kepergian Alvin.
"Oh ya gue rasa sebelum melawan Tuhan pastinya Lo udah melawan orang tua kan? Abis minta maaf sama Tuhan, minta maaf sama ortu Lo ya. Mereka berdua yang udah nanggung biaya Lo hidup, bukan Jin itu."
Perkataan Febi terulang kembali di pendengarannya. Hatinya mulai sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan.
"Tapi gue kan enggak melakukan sesuatu yang salah," tepis Dinda agar menghilangkan rasa bersalahnya.
"Ah bodoamat lah!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
HE LOVE ME (END)
Mystery / ThrillerSemua ini tidak akan terjadi jika Aku tidak membuang pembalut sembarangan. Semua ini tidak akan terjadi jika Aku membaca doa sebelum masuk ke kamar mandi dan membuka pakaian. Semua ini tidak akan terjadi jika Aku tidak berlebihan saat sedih ataupun...