26. SAYANG ...

1.1K 116 4
                                    

Angkasa menarik tangan Dinda dan berlari meninggalkan area perkemahan, sedangkan yang lainnya berteriak memanggil Angkasa dan Dinda.

Dinda menoleh ke arah Angkasa yang masih meneteskan air matanya. Ia pun ikut bersedih karena hal itu. Jika takdir sudah bertindak, jika Tuhan sudah berkehendak. Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali mengikhlaskan.

"Kuat ya kak! Dinda selalu ada di sini sama kak Angkasa!" ucap Dinda.

Angkasa menoleh kanan kiri menunggu angkutan yang jalan, tapi sama sekali tidak ada. "Tenang, kita naik mobil bak aja, kita numpang,"

Dinda berjalan ke tengah jalan dan merentangkan tangannya hingga satu mobil berhenti di depannya. Dinda menghampiri supir itu, "Pak, saya boleh numpang ke Jakarta?"

"Ya udah ayok!" Dinda meraih tangan Angkasa dan mengajaknya untuk naik ke mobil bak itu.

Angkasa mengambil nafasnya dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan, ia menoleh ke arah Dinda yang meneteskan air matanya.

"Din .... kenapa takdir bawa gue ke situasi ini?" tanya Angkasa menghapus air matanya.

Bukannya menjawab, Dinda malah menangis lebih kencang. Angkasa yang berduka namun Dinda yang menangis, orang bilang jika seseorang sayang kepada kita, seseorang itu akan merasakan yang dirasakan orang itu.

Jadi? Apakah Dinda sayang kepada Angkasa?

"Ssttt ... lo jangan nangis, lo kalau nangis jelek, Adinda." ujar Angkasa menghapus air mata Dinda.

"Tuhan, Tuhan kenapa harus ngambil Tante Lova? Kenapa kak Angkasa harus ngerasain situasi ini?" tanya Dinda benar-benar tak rela jika Angkasa kehilangan Lova.

Karena disaat Dinda kehilangan Mama-nya, Angkasa pun hadir. Dan kini, saat Angkasa kehilangan Dinda pun hadir. Takdir? Takdir mengajarkan bahwa yang kita miliki tidak akan selamanya ada, ia akan pergi dan tidak akan kembali.

"Udah takdir Adinda ... ada yang lebih sayang sama Mama, Tuhan lebih sayang sama Mama makannya Tuhan ambil Nama," jelas Angkasa.

"Dinda tau, Dinda--" Angkasa menempelkan satu jarinya dibibir Dinda membuat Dinda membungkam.

Angkasa menggelengkan kepalanya. "Jangan nangis, jangan nangis Adinda ...."

Dinda menganggukan kepalanya kecil lalu meraih tangan Angkasa dan mengajaknya turun dari mobil. Setelahnya, mereka berdua berlari di sepanjang koridor rumah sakit menuju ruang VIP.

Angkasa dan Dinda melepaskan tautan tangannya, Dinda menoleh ke arah Angkasa yang sedang menarik nafasnya dengan berat. Tangannya mulai bergerak membuka kenop pintu.

Berlari. Angkasa langsung berlari dan memeluk jasad Lova yang sudah tertutup dengan kain putih.

"Ma! Mama bangun! Mama jangan tinggalin Angkasa! Mama!" teriak Angkasa membuka kain putihnya dan memegang tangan Lova dengan erat.

"Angkasa ...."

"Nggak, Yah, nggak! Mama nggak mungkin tinggalin Angkasa! Mama sayang sama Angkasa!"

Dinda keluar dari ruangan itu dan menangis. Entahlah dengan Dinda, ia merasa begitu kehilangan kedua kalinya. Sangat tidak ikhlas begitu mendengar Lova meninggalkan dunia selamanya.

***

Langit Jakarta kini berawan, tidak ada matahari, dan tidak ada awan putih. Hanya ada angin dan hujan di pemakaman.

Di bawah derasnya hujan, Angkasa bertekuk lutut melihat batu nisan yang menampilkan nama Lova. Angkasa menaruh kepalanya di batu nisan itu dengan terisak.

GARIS TAKDIR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang