8. Hush

16.4K 1.3K 35
                                    

Kejadian semalam rasanya belum selesai. Nia ketiduran sampai pagi, daripada memikirkan gelagat aneh Garsa memilih untuk tidur. Menunggu Garsa kembali pun lelaki itu tidak muncul jua.

Begitu bangun pagi berkat alarm ponsel, Garsa sudah bangun memakai pakaian kerja. Padahal itu masih jam 5 pagi. Nia tidak terlalu heran Garsa berangkat pagi sekali untuk menghindari kemacetan. Bahkan sejak dulu Nia tahu pria itu selalu rela sarapan di jalanan demi mengejar jam berangkat yang amat pagi.

Mereka belum bicara lagi semenjak kejadian bahkan sampai setelah Nia selesai mandi dan siap-siap memakai pakaian kerjanya sama sekali tidak disapa oleh Garsa. Begitu wanita itu turun ke bawah, di meja makan sudah ada anak-anak Garsa dengan memakai seragam sekolah dan pria itu sedang menyesap kopi dari mug putih. Sepertinya Garsa belum buru-buru mau berangkat.

Pria itu memberikan senyuman kecil. “Hai, pagi, Sayang!” sapanya.

“Mama cantik banget pake baju kerja formal,” ucap Karel penuh gombal.

“Bisa aja.”  Nia baru mau duduk di kursi dekat Garsa, lalu pria itu bangun berdiri dari tempatnya. Nia melihat dasi dan kemejanya Garsa masih berantakan begitu seperti belum dirapikan. Wanita itu menjadi menahannya. “Mas tunggu,” kata Nia agar memecahkan perasaan asing gara-gara tadi malam.

Perempuan itu mendongak dan mengulurkan tangan untuk merapikan dasi dan juga mengancingkan kemeja kerja Garsa. Jelas sekali raut wajah Garsa terlihat terkejut. Nia melihat pria itu melebarkan pupil mata sebentar dan meneguk saliva. Belum sempat hasil ikatan perbaikan dasinya rapi, Garsa menarik tubuhnya lalu mundur. Kali ini Nia ditolak lagi rasanya.

“Nggak usah, Ni,” ucap Garsa dengan nada tercekat dan dingin.

“Eh?” Nia memandanginya heran. Siapa tahu lelaki itu bakalan marah karena lagi-lagi perempuan itu main-main pegang dirinya sembarangan tanpa izin lagi. Namun, nada suara setelahnya menjadi seperti biasanya.

“Kamu sarapan aja, Ni. Aku bisa rapihin ini. Nanti kamu telat berangkatnya loh,” kata Garsa tersenyum aneh yang rasanya untuk menutupi sesuatu. Senyum yang dipaksakan. Lalu pria itu pergi ke kaca dapur untuk merapikan dasi dan kancing kemejanya.

Nia masih berdiri dengan kikuk, hatinya sudah perih berasa menerima penolakan lagi-lagi. Menutupi salah tingkah begitu menoleh ke arah meja menerima tatapan sorot mata anak-anak itu. “Hei, kalian ada yang mau Mama anterin, biar berangkat bersama?”

“Aku ada motor, Tan,” jawab Karel. “Eh, Ma.”

“Aku nebeng sama Mas Karel.” Dista menyahuti sambil tatapannya tertuju pada piring.

“Aku naik Ojek aja. Naik mobil macet kalo masuk gang dekat sekolahan. Bisa kesiangan dan mepet jam bel masuk,” kata Genta lalu fokus sarapan lagi.

Sepi setelahnya. Mereka semua pergi pamitan berangkat dengan tujuan masing-masing. Apakah Nia sudah benar-benar diterima oleh mereka bahkan dengan Garsa sendiri?

Saat Nia sarapan sendirian di meja makan itu dia berusaha agar tidak memikirkan gelagat Garsa semalam dan juga yang barusan. Saat pria itu mau berangkat kerja, tetap berpamitan. Namun, rasanya tak sehangat sebelum-sebelumnya.

Kenapa mendadak jadi dingin begitu? Apakah marah gara-gara kelakuan tadi malam? Nia murahan banget sampai agresif tak mempedulikan perasaan Garsa.

Maaf…

Nia mengambil ponsel dari tas dan mengirimkan pesan pada Garsa.

Nia:
Mas, hati-hati di jalan 🥰

Mas Garsa:
Makasih Sayang, kamu juga ya 😉
Ni
Maaf yang semalam

Nia menahan senyum pesannya masih dibalas, saat mau menutup ponsel dia segera melotot membaca pesan terbaru itu yang baru muncul itu, sementara Garsa masih mengetik-ngetik sesuatu selanjutnya.

CompromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang