Di ruang makan mereka berkumpul bersama. Ber-empat. Mereka duduk seraya menatap wajah satu sama lain. Nia duduk di sebelah Mama, sedangkan Garsa di depan dirinya. Tante Yuyu duduk di sebelah Garsa dengan raut wajah tegangnya.
“Kalo kalian ada masalah ungkapin sejujurnya aja sekarang. Biar kita mengerti keadaan kalian.” Mama menatap Nia dan Garsa.
Nia mengira bahwa masalah pribadi cukup mereka saja yang tahu. Tetapi butuh orang dewasa untuk memberikan saran dan jalan keluar.
“Mama yakin kamu ada masalah, Ni, Mama nih peka sama anak. Waktu itu kamu sering nanya-nanya tentang perceraian dan masalah rumah tangga. Kamu nggak cerita lagi lebih lanjut, Mama jadi semakin khawatir akan hubungan kalian.” Kata-kata Mama membuat Garsa menatap Nia. “Ada apa sih sebenarnya?”
Nia menjadi kikuk ketahuan bahwa dia pernah belajar mencari makna pernikahan, mencari pembelajaran dan tentang perceraian ke orang lain. Untuk mencari pembenaran saat memutuskan pilihan.
“Aku pernah marah besar sama Mas Garsa, Ma. Kita udah pernah sidang mediasi proses cerai satu kali di pengadilan.” Nia menunduk dengan perasaan bersalah.
Mama membuka mulutnya tak percaya dan matanya menatap Nia membulat terkejut dengan cerita itu. “Kenapa?”
“Sa, beneran??” Tante Yuyu juga menatap Garsa syok bukan main.
“Masalahnya nggak sepenuhnya salah dia. Aku juga pernah salah. Aku marah, tapi juga ada salah paham waktu itu. Andai, aku nggak menuduh, aku nggak kebawa emosi main sembarangan ngomong. Tapi perasaanku hancur banget selama ini. Nggak cuma itu aja masalahnya yang utama."
"Kejadiannya udah dari lama?" tanya Mama memandangi Nia dengan sorot terluka.
"Sejak beberapa bulan lalu," jawab Nia.
"Ini sebabnya kalian jadi renggang dan Nia nggak hamil-hamil?" Tuduhan Tante Yuyu membuat mamanya Nia membelalakan mata mengira hal yang sama.
"Ini kesalahan terbesar aku yang nggak pernah menyentuh Nia," sela Garsa cepat tanpa memberikan kode pada istrinya.
Nia menjadi tergagu, mungkin inilah sudah waktunya mereka jujur sekalian dengan masalah ini. Dengan mata sudah berkaca-kaca dan hatinya sesak sekali bagai dicekat tangan penyiksa perasaan.
"Garsa nggak pernah melakukan atau ngajak hubungan seks sejak kami menikah. Pernah ngajak tapi, aku nggak mau udah tau apa yang lagi kami hadapi.” Penuturan Nia membuat Mama dan Tante Yuyu menjadi semakin syok dan berang. “Garsa masih terbayangi oleh Amanda. Dia nggak mencintaiku, saat awal menikah sebenarnya dia ragu-ragu. Itu alasan utamanya. Aku sakit hati waktu itu tahu aku udah bersama Garsa namun tahu bagaimana kami aslinya hanya berdasarkan kepalsuan. Itu nyakitin perasaan aku. Aku jadi bisa melontarkan keinginan berpisah itu. Maaf, maafin aku. Maafin aku yang nggak bisa komitmet sama janji dan pilihan aku.” Nia sudah mengeluarkan air mata beberapa tetes. Hatinya bagai diremas dan dicolok-colok menyesakkan.
Tante Yuyu melotot menatap Garsa yang diam saja tak mau menyerobot giliran bicara. “Benar, Sa?”
Garsa mengangguk. “Aku nggak bisa melupakan Amanda, Ma. Aku nggak bisa menyentuh berhubungan sama Nia. Aku ketakutan akan perasaan mengkhianati Amanda, aku masih mencintainya. Aku nggak memiliki hasrat sama Nia.”
Mama terlihat mengedipkan mata dan menyedot hidung yang mampet. Setelah diam cukup lama wanita itu mengeluarkan suaranya.
“Mama akan dukung apa pun keputusan Nia selama kamu bisa menjadi bahagia. Jika itu keputusannya berakhir pisah, biar Nia bebas dari perasaan sakit hati.” Sebagai wanita yang selalu berhadapan dengan masalah, Silfia langsung mengerti masalah Nia. Dia sempat menjeda sesaat ucapannya membuat semuanya menjadi menatap pada Silfia. “Walau harus pisah sama Garsa nggak masalah, kamu bisa bertemu sama pria yang lebih menghargai kamu.” Mama menekankan ucapan yang membuat hati Nia diremat kuat nyeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Compromise
General FictionRated 18+ Nia harus menepati janji pada keluarganya, kan kasihan adik laki-lakinya tidak bisa menikah jika dia masih berutang janji. Janji untuk segera menyusul Elyn, adiknya, yang sudah menikah beberapa tahun lalu meloncatinya. Nia putus sama Dipta...