20. Ada yang puber

13.9K 1.3K 75
                                    

“Buruan, Dista! Lama banget udah kelewat 5 menit nih,  aku mau ngerjain tugas! Inget jadwal upacara pagi ini!”

Di belakang Nia ada seorang cowok berusia 17 tahunan. Karel sudah siap dengan seragam lengkap. Tak sabar selalu menatap ke arah tangga menanti seseorang muncul turun dari lantai atas.

“Kerjain tugas itu dari rumah,” cetus Genta yang lagi pakai kaus kaki di sofa ruang TV.

Nia baru saja membuatkan susu di tumbler Ghani, lalu menemani anak itu di ruang sofa. Sambil memperhatikan betapa sibuknya sekeliling. Tadi Dista sudah sarapan bersama yang lainnya, selesai makan anak itu buru-buru naik ke atas lagi. Entah sibuk ngapain lagi.

“Kenapa Dista naik lagi? Sakit perut pagi ya?” tanya Nia. Biasanya pagi hari itu waktu yang menyebalkan kalau sakit perut.

“Nggak tahu, tapi dari bangun tidur aku lihat dia sibuk banget mengeluh sambil memegangin perut dan pinggang,” jawab Karel. “Kecapekan belajar kali ketularan Genta, sampe pegal-pegal keram otot.”

“Mana mungkin,” sambung Genta tak bisa diajak bercanda.

“Mas berangkat duluan aja! Aku nggak bareng sama Mas!” Sosok gadis dengan seragam putih-putih berdasi biru dan tas gemblok muncul di tangga.

“Kamu sakit ya kok pucet?” tanya Karel cemas menghampiri adiknya.

“Eh, enggak kok. Nggak bareng Mas El. Aku nggak mau naik motor,” kata Dista. Anehnya gadis itu melirik pada Nia.

Nia yang menangkap sinyal aneh darinya langsung menyahuti. “Mau Mama anterin naik motor?”

“Enggak! Jangan naik motor! Aku maunya naik mobil,” jawab Dista menekankan.

“Kamu lemes? Nggak usah masuk aja, takutnya pingsan pas lagi upacara,” kata Genta berdiri ikut berbicara padahal sudah siap mau berangkat.

“Aku nggak apa-apa. Aku harus masuk hari ini. Ayo, jalan sekarang,” ucap Dista sambil menatap Nia dengan sorot mata tak sabar.

Dalam hati Nia merasakan sesuatu yang aneh. Walau anak itu masih sinis bagai terpaksa meminta bantuan padanya. Itu hal yang luar biasa membuat Nia seperti berada di atas angin diandalkan oleh anak yang sering menuduh bahwa dirinya tak berguna dan tak beres dalam mengurusi semuanya.

Namun, dalam hatinya berkata-kata, kenapa ada hal langka baru saja terjadi. Anak itu mau dianterin ke sekolah olehnya?

“Tumben manja,” dengkus si Karel. Dia segera menyalami tangan Nia pamitan berangkat. “Ma, aku jalan. Doain anakmu ini semakin pinter dan ganteng.”

“Apaan sih!” Genta dan Dista mencibir barengan. Dasar si kembar!

“Pastinya dong. Eh, Genta ikut barengan juga ya! Ayo, kita jalan sekalian!” Ajak Nia mengingat kalau Genta juga satu sekolahan dengan Dista. Bisa-bisanya nyaris lupa.

“Ya udah, aku mau. Aku tunggu di luar ya!” seru Genta berjalan keluar. “Jangan lama, menurut perhitungan waktu masih aman.”

“Ma, aku ikut ya!” Ghani turun dari sofa lompat dengan langkah imut mengejar ke ruangan depan.

“Mama ganti baju dulu sebentar,” kata Nia.

“Jangan lama-lama nanti kita kesiangan!” seru Dista lalu mengikuti berjalan ke luar.

Sementara Nia mau berganti pakaian dulu sebentar ke kamar atas. Sekilas melihat saja sepertinya Dista memang sedang sakit. Bukan sakit pada umumnya. Sakit yang biasa Nia rasakan kalau sedang menstruasi. Wajar saja kalau anak gadis itu malas berangkat ke sekolah harus duduk di atas motor. Mungkin ini hari pertamanya.

CompromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang