12. Rumah mode darurat

13.8K 1.3K 35
                                    

Matanya masih terpejam dengan lengket. Nia mengernyitkan dahi heran ketika mencium aroma menyengat terlalu mendekata padanya Nia dan disertai sebuah sentuhan pada keningnya. Saat Nia buka mata di hadapan sudah ada Garsa berdiri rapi dengan baju kemeja lengan panjang dan celana hitam.

Pria itu sudah rapi tandanya ini sudah pagi, pikir Nia lalu terperanjat.

“Ni, aku mau jalan pagi banget nih.” Tangan Garsa mengusap lembut puncak kepala Nia yang masih belum kesadaran penuh.

“Astaga! Udah pagi beneran, ini bukan mimpi? Jam berapa ini?”  Nia terlonjak bangun matanya mencari jam dinding. Sudah pukul 5 pagi. “Astaga, kesiangan! Aku yang harus siapin, anak-anak mau sekolah.”

“Belum kesiangan, ini masih pagi banget. Mereka biasanya juga bangun jam 5,” kata Garsa sembari memakai jam tangan. Pria berambut belah tengah itu masih menunjukkan raut wajah yang tenang.

“Karena hari biasa ada Bu Karmi, sekarang aku yang pegang. Mas, kok nggak bangunin aku dari pagi banget?”

Garsa terkekeh ringan. “Udah santai aja, Ni. Tadi kamu tidur lelap banget, nggak tega banguninnya. Bukannya biasanya kamu pasang alarm jam 5 kurang.”

“Aku nggak pasang alarm soalnya cuti. Aku lupa nyalain mengatur alarm lain.” Nia bangun langsung pergi ke kamar mandi.

“Pa, Mama mana??” Suara Karel terdengar di sekitar luar kamar selagi Nia membersihkan wajah di kamar mandi.

“Lagi di kamar mandi, kenapa Rel?” tanya Garsa balik.

“Genta sama Dista heboh tuh lagi pada ngedumel urusan baju,” ucap Karel.

“Iya, Mama bentar lagi keluar!!!!” seru Nia dengan mulut penuh dengan busa masih menggigit sikat gigi.

Setelah 15 menit berlalu melaksanakan kegiatan pribadinya, cuci muka dan gosok gigi, daripada kena omel anak-anak karena mulut bau tak enak. Nia keluar kamar.

Setelah keluar dari kamar Nia berjalan menuju ke kamar Dista yang pintunya sudah terbuka, anak gadis itu keluar dari sana sambil menggerutu sendirian. Anak gadis itu dengan langkah cepatnya turun ke bawah seringan kapas. Sungguh menakjubkannya anak itu sama sekali bagai tidak melihat atau melirik Nia sama sekali.

“Bajuku kok nggak ada yang rapi di lemari? Pasti masih ada di ruang gosok,” cetus Dista matanya berkilat-kilat marah dengan gerakan gegabah saat melangkah emosi berat.

“Eh, mau ke mana? Gosok baju? Aku duluan dong,” kata Genta menyusul Dista dengan langkah super cepat.

Nia memandang keduanya sudah berada di lantai bawah. Dia cepat-cepat menyusul mereka.

“Enak aja minta duluan!  Aku duluan lah, tar kesiangan nggak bisa nebeng sama Mas Rel,” decak Dista sudah masuk ke ruangan menggosok baju. Matanya terlihat menyapu sekitar. Pandangannya tertuju ke tumpukan baju.

“Ya udah, sekalian gosokin punyaku,” kata Genta santai tanpa beban.

“Enak aja. Enggak mau! Aku kesiangan ni kalo nggak gercep.” Tangan Dista memegang gagang gosokan lalu melepasnya lagi. “Abis dipake Mas Karel apa nih kok panas? Kalo habis dipake dia pasti kotor gosong kepanasan gini! Kalo lengket takutnya bikin noda di bajuku! Dasar pake barang sembarangan,” gerutu Dista.

“Bantu aku dong, Dis. Aku harus berangkat pagi banget nih,” ucap Genta memohon.

“Nggak bisa.” Tolak Dista. “Kenapa nggak bangun lebih pagi tadi?”

“Aku bangun pagi banget cuma tadi buka buku dulu malah keterusan.”

Dista terlihat memutar bola matanya. “Makanya jangan sok ambisius!”

CompromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang