14. Sentilan kecil

14.3K 1.2K 157
                                    

Ketika jarum jam sudah pukul 3 ada suara motor berhenti depan rumah, Dista baru pulang dengan raut wajah lelahnya.

“Dista kok baru pulang? Genta pulangnya jam 1 lewat.”  Nia ingin tahu mengapa anak gadis itu pulang telat. Nia kan Ibunya jadi berhak tahu.

“Nggak usah kepo, jangan tanya-tanya sok perhatian,” jawab Dista seraya membawa tasnya lalu masuk ke ruangan makan untuk membuka pintu kulkas mengambil air minum.

Nia masih mengekorinya di belakang. “Ada kegiatan ya? Mama mau tahu dong, jadi biar nggak khawatir gitu loh.”

“Ada lah pokoknya.”

“Apa tuh? Kasih tahu dong, Mama pengen tahu aja. Aku ini udah jadi mamamu loh.”  Nia sandaran pada kulkas di dekatnya.

“Kenapa kayak lagi marah-marah, abis diomelin Nenek ya?” cetus Dista penuh makna.

“Jangan kira kamu ngadu-ngadu lalu Nenek bakal ngomelin aku. Nenekmu itu sayang banget sama aku deh, soalnya beliau yang pengen aku jadi istrinya papamu.” Oke, kali ini Nia berbicara dengan mode teman sebaya.

“Nenek pasti lagi nyesel, udah salah banget biarin Papa menikah sama wanita yang nggak beres banget. Tante tuh niat nggak sih jadi ibu, masa nggak bisa apa-apa?” tuding Dista.

“Siapa yang ngajarin kamu begini? Yaaa wajar sih, masih kecil. Saat kamu udah dewasa nanti juga akan paham kok.”

“Dis, kamu ngomong apa ke Nenek?” Genta muncul tiba-tiba mengejutkan mereka. Anak cowok dengan kaus lengan pendek warna krem itu memandangi si saudara kembar dengan tatapan kesal.

“Apa aja kek, aku cuma cerita masalah hidupku sama Nenek,” sahut Dista. Karena Genta muncul ikut serta, dia langsung kabur begitu saja tak mau berlama-lama ribut lagi.

Nia ditinggal oleh Genta yang pergi begitu saja. Tidak seperti Karel yang pasti akan menyelesaikan keributan itu dengan menyuruh Dista minta maaf, anak cowok itu tak memaksa saudaranya untuk bersikap lebih baik dalam menyelesaikan masalah.

Daripada ngajak ribut anak cewek itu lagi Nia lebih memilih menonton di Ruang TV. Tidak lama anak cewek itu teriak-teriak dari lantai atas.

“Celana pendekku yang selutut warna hitam polos mana?”

Nia tak menggubrisnya, namun semua baju di ruangan menyetrika sudah diangkut ke lemari masing-masing. Kalau ada kehilangan barang, bisa jadi Nia yang tertuduh menjadi bahan omelan. Nia berlari menuju lantai atas. Dista terlihat mau turun, tapi Genta sudah muncul membawa celana dan memberikannya dengan cara melempar begitu saja. Dista yang tak siap hanya terpana menerima celana itu nemplok di kepalanya.

“Tuh celanamu nyasar!!” seru Genta bisa-bisanya dia tak tertawa dengan hal yang baru dia lakukan bisa membuat Dista berhenti berisik.

Nia saja yang melihat mau menyemburkan tawa namun ditahan demi kewibawaan.
Dista mengambilnya lalu mencebik kesal. “Ih, kok bisa ada di kamu? Ini udah kamu pake ya”

Lalu pandangan keduanya beralih kepada Nia yang berdiri mematung tak jauh dari mereka. Iya, iya, lagi-lagi salah seorang wanita berambut panjang dengan ikatan sudah berantakan itu.

“Aku kira itu punya Genta,” kata Nia membela diri.

Sepertinya hari ini masih belum selesai juga sampai sore. Nia sedang merapikan ember di teras halaman samping. Genta muncul menggunakan memakai baju santai dengan kaus dan celana kolor selutut dan membawa tas kempes warna hitam.

“Aku mau pergi. Sebelum gelap udah sampe rumah kok. Boleh, 'kan?”

“Iya boleh, tapi ke mana? Mau bimbel?” Nia heran melihat penampilan Genta yang mau bimbel tetapi sangat santai kayak mau main di empang.

CompromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang