⚠️ di akhir part ada sedikit 🔞 ⚠️
"Ma, tahu merek pembalut yang lain? Ini nggak nyaman dipake, aku nggak suka." Dista muncul di pintu kamar membuat Nia tersentak kaget sampat terperanjat ke belakang."Astaga, ngagetin aja!" serunya malu sambil berusaha menahan degup jantung yang berdebar keras di dada.
Dan, Dista hanya menatap masam dengan bibir tersungging miring. "Aku nggak nyaman sama pembalutnya."
"Mau Mama cariin ke minimarket yang ukurannya lebih tipis dan enak dipake?" tawar Nia yang masih gugup gara-gara belum terbiasa dengan Dista yang berubah jadi kalem gara-gara sakit. Mana sekarang memanggil Nia dengan sebutan 'Mama'. Itu mengharukan dan aneeeeeh banget.
"Aku ikut ya, Ma, mau beli snack jajanan. Jalan kaki aja," kata Dista membuat Nia paham bahwa anak itu ingin berbicara dan dengan berjalan bersama waktu mereka bisa lebih lama.
Jadilah Nia dan Dista berjalan kaki berdua bersama ke minimarket depan. Selama di perjalanan anak gadis itu terlihat hanya diam saja. Selama di minimarket pun tidak banyak bicara, hanya memilih makanan lalu dimasukkin ke keranjang.
Nia membantunya memilihkan pembalut yang nyaman, yang biasanya dipakai oleh teman-temannya di kantor. Nia yang melihat gadis remaja itu banyak memasukkan makanan ke keranjang hanya menganga tanpa bisa protes.
Melihat muka Nia yang aneh, ketika di kasir Dista menegaskan kalau makanan-makanan itu nanti akan buat yang lainnya juga, Ghani, Karel, bahkan Genta.
Saat di jalan kembali menuju kompleks perumahan, mata Nia melihat tukang martabak. Nia menarik Dista agar masuk ke dalam kios dan memesan.
Saat menunggu martabak dibuatkan anak itu akhirnya mulai berbicara. "Aku mau numpang ngeluh sedikit. Aku jadi malu dan kesal karena udah marah-marah sama Genta yang mau lanjut ikut seleksi kelas Akselerasi. Aku sama Genta ikutan bareng dari seleksi dokumen sebulan lalu, tapi hari Kamis kemarin saat ada daftar nama yang lolos diumumin, cuma nama Genta yang ada. Aku marah-marah karena tadi di sekolah dia bilang mau lanjut ikutan testnya besok, dia tetap mau lanjutin rencana itu sendirian. Aku kira dia akan berhenti kalo aku melarang rencananya, tapi dia tetap lanjut mau test seleksi penjaringan."
Nia manggut-mangut. "Yakin mau membahas ini? Kamu kan lagi sakit perut, mau bahas yang berat-berat?" Inilah hanya alasan, sejujurnya Nia belum siap menjadi teman diskusinya. Namun pertanyaannya Dista yang lagi butuh tempat buat dia meluapkan pikiran dan pasti membutuhkan respon dari orang lain.
"Kalo perutku masih sakit nggak mungkin mau ikutan jalan keluar komplek," sahut Dista. "Lagian aku cuma mau numpang ngeluh. Kalo Mama nggak paham nggak tahu solusinya nggak apa-apa, aku cuma mau cerita dan Mama sebagai teman pendengar."
Nia tidak bisa kabur dari kenyataan bahwa dia akan menjadi tempat seorang anak bertanya. Tempat mereka menemukan jawaban atas masalah-masalah yang sedang dihadapi. Cepat atau lambat Nia memang akan menjadi tempat mereka belajar menemukan jawaban. Nia harus bisa menjadi figur yang baik dan bertanggung jawab mengarahkan dan mendidiknya, karena mereka sudah menjadi anak-anaknya.
"Apa yang harus aku lakuin? Aku harus dukung Genta atau enggak buat dia mau masuk kelas Akselerasi? Langkah pilihan Genta membuat aku terlihat jauh semakin tertinggal. Tapi sisi lain aku sih nggak apa-apa, aku nggak marah banget. Genta udah tahu apa yang harus dia lakukan untuk masa depannya. Tapi, kenapa kita nggak bisa melangkah bersama? Dia lebih pintar, dia bisa lolos sendirian. Kenapa aku enggak bisa? Aku bakal dibandingin lagi sama dia atas ketertinggalanku." Dista emosional sampai suaranya terdengar tercekat dan matanya berkaca-kaca. Saat gadis itu mengalihkan wajah ke arah lain, Nia tahu dia sedang menahan tangis membuang air mata yang sudah terlanjur keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Compromise
General FictionRated 18+ Nia harus menepati janji pada keluarganya, kan kasihan adik laki-lakinya tidak bisa menikah jika dia masih berutang janji. Janji untuk segera menyusul Elyn, adiknya, yang sudah menikah beberapa tahun lalu meloncatinya. Nia putus sama Dipta...