Garsa mengikutinya. Saat Nia mengambil air minum untuk membajiri tenggorokannya yang kering, wanita itu diminta duduk oleh Garsa di kursi meja makan.
"Kita pisah aja! Aku sakit hati banget di sini. Sejujurnya yang membuatku tetap tenang dan sabar adalah anak-anakmu. Tapi aku nggak mau terjebak selamanya di sini. Selama ini aku berusaha sabar hanya atas konsekuensi, komitmen, dan tanggungjawab keputusanku dulu."
"Ni, apa selama ini aku jahat sama kamu selain kejujuran itu? Aku baik memberikan kamu uang, memperlakukan kamu baik, dan nggak pernah kasar. Oke, yang waktu itu aku khilaf. Aku tanggungjawab sama kebahagiaan, menjaga, dan nggak melukai kamu. Apa kamu mau secepat ini kita selesai? Bertahan dulu, Ni. Kita cari jalannya lagi bersama. Aku nggak akan mau bercerai."
"Kenapa nggak mau? Mau cari jalan keluarnya? Waktu beberapa bulan lalu kenapa kamu diem aja?" Nia meneguk ludah. "Cuma itu definisi hubungan kita? Aku punya gaji sendiri, tanpa kamu aku udah diperlakukan baik dengan keluargaku. Dan, alasanku menikah itu untuk bersama dengan seseorang adalah cinta. Kebutuhan berhubungan sosial dan seksual. Tanpa kamu aku bisa lebih baik. Kamu juga bisa onani sendirian dengan bebas tanpa membuatku sakit hati saat tahu itu atau bisa main sama perempuan lain. Status ini hanya membatasi kebebasan kita. Aku yakin kamu tuh ngajak aku berhubungan pake kondom, karena kamu udah nggak tahan main sendirian sedangkan di kamarmu ini ada wanita seksi dan cantik, ya kan?"
Celotehan panjang nan emosi milik Nia tak mampu disela apalagi dijawab oleh Garsa yang hanya menatap dengan sorot mata nanar. Nia membuang napasnya lelah.
"Kamu mau bikin malu keluargamu dan bikin kecewa mamamu?" tanya Garsa setelah diam cukup lama.
"Keluargaku terbuka sama perceraian. Kamu kali yang malu takut bikin mamamu kecewa. Iya, 'kan? Aku nggak takut malu jadi janda, lebih takut nggak bebas terkekang dalam status pernikahan bodoh ini. Aku udah melihat sendiri, perpisahan adalah jalan terbaik."
"Ni, aku nggak mau bercerai. Aku mohon, Ni."
Nia terperanjat tak percaya saat pria itu jatuh duduk bersimpuh dan memegangi kakinya. Pelan-pelan wanita itu menundukkan pandangan melihat Garsa yang sudah menangis mengeluarkan beberapa buliran air mata. Mata itu penuh luka. Nia menjadi tertegun.
"Ni, kasih kesempatan lagi. Jangan cerai. Aku mohon. Aku akan belajar lagi untuk membangun perasaan ke kamu. Aku suka sama kamu, Ni. Aku nggak yakin akan bertemu dengan perempuan lain yang baik seperti kamu lagi."
Halah, mulutnya manis hanya kalau lagi membujuk saja. Nia sudah tak menggubris Garsa yang jago bohong ini.
"Inget, Ni, masa-masa kebahagiaanmu sama anak-anak. Inget mereka akan sedih kalo kamu jadi meninggalkan mereka."
Nia mendecak sambil masih bersidekap, sedangkan Garsa masih memeluk kakinya memohon. Wanita itu tak peduli tetap menampilkan wajah dingin dan kesal. "Mereka itu anak kandungmu. Ikatanku sama mereka nggak sekuat itu," tepis Nia walau di dada merasakan hal berbeda. Nia menyayangi anak-anak Garsa, namun mengingat kembali semuanya jadi memahami bahwa Garsa selama ini memang menyerahkan tugas mendidik anak-anaknya padanya, tanpa sadar pria itu melepas tangan karena sudah ada wanita yang diberi gelar sebagai ibu. Wanita itu berperan hanya untuk melengkapi bagan keluarga. Ada ayah, juga harus ada ibu. Padahal fungsinya tidak jelas betul.
"Ingat, Ni, saat kamu memasak untuk kita, memperhatikan aku, membantuku bersiap berangkat kerja, dan membuat bekal siang. Kamu membantu anak-anak memahami mimpi dan keinginan mereka. Kamu adalah Ibu terbaik untuk mereka."
"Aku jadi tahu kamu menganggap istrimu cuma sebagai orang yang mengurus dan membantumu. Pernikahan itu bagai sebuah penitipan kehidupan pada perempuan menurutmu? Harusnya istri adalah orang yang kamu bantu juga, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Compromise
General FictionRated 18+ Nia harus menepati janji pada keluarganya, kan kasihan adik laki-lakinya tidak bisa menikah jika dia masih berutang janji. Janji untuk segera menyusul Elyn, adiknya, yang sudah menikah beberapa tahun lalu meloncatinya. Nia putus sama Dipta...